Kurikulum
2013 telah menjadikan mata pelajaran bahasa Indonesia di
SD menjadi sentral dari mata pelajaran IPA, IPS, dan matematika. Model
pembelajaran yang mengiringi kebijakan ini adalah model tematik-teritegrasi. Sementara
itu, mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP dan SMA berpusat pada kompetensi
dengan orientasi pada pengembangan literasi. Model pembelajaran yang mengiringi
kebijakan ini adalah model ilmiah. Namun, yang seringkali menjadi faktor
penyebab kegagalan dari perubahan kurikulum tidak pernah diperhatikan. Beberapa
faktor tersebut adalah pertama, kesiapan guru dan siswa (kompetensi dan literasi);
kedua, penyediaan sarana-prasarana (seperti buku dan perpustakaan sekolah);
ketiga, konten kurikulum bahasa Indonesia (hasil kebijakan masa kini
mengabaikan keilmuan di dalam berbahasa dan bersastra).
Berdasarkan
UUD 1945 Pasal 36c dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 33
bahasa Indonesia adalah bahasa negara dan bahasa pengantar pendidikan nasional.
Kedudukannya yang
begitu tinggi menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sangat penting
bagi pengembangan
pendidikan bangsa Indonesia. Artinya, penguasaan bahasa Indonesia akan sangat
menentukan
keberhasilan pendidikan bangsa Indonesia. Dengan demikian, arah kebijakan
pendidikan
bahasa Indonesia
tentulah tidak terlepas dari dasar negara tersebut.
Lalu, bagaimana
dengan kebijakan pendidikan bahasa Indonesia dilihat dari perspektif perubahan
kurikulum
(Kurikulum 2013)? Dengan meminjam ungkapan klasik dari Heraclites (530 SM)
bahwa
segala sesuatu
berubah (Pantai Rai). Artinya, perubahan merupakan konsekuensi logis dari
hakikat
pendidikan yang
dinamis. Hakikat ini mencerminkan adanya pergerakan yang tidak lagi mengikuti
hukum >kecepatan‖,
melainkan hukum >percepatan‖.
Suatu lompatan yang tidak lagi bergerak mengikuti dan menyesuaikan dengan
perubahan faktor-faktor yang melandasinya, baik filosofis, psikologis,
sosiologis, maupun IPTEK. Perubahan ini membuat lompatan-lompatan yang
melampaui zaman. Misalnya, sepuluh tahun lalu tak terbayangkan semua orang
dapat bergerak menyusuri lorong-lorong peradaban dengan berselancar melewati
batas ruang dan waktu melalui internet. Bahkan, anak-anak saat ini sedang
berada dalam tahapan yang hidup dan dibesarkan dalam era digital, dengan segala
kompleksitas yang menyertainya.
Bahasa
dan sastra memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan
emosional peserta didik dan menjadi jalan menuju keberhasilan dalam mempelajari
semua bidang studi.
Pembelajaran
bahasa dan sastra diharapkan membantu peserta didik untuk mengenal dirinya,
budayanya, dan budaya orang lain; mengemukakan gagasan dan perasaan;
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut; serta
menemukan, menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam
dirinya.
Bahasa
Indonesia merupakan salah satu sarana berkomunikasi, baik untuk saling berbagi
pengalaman,
saling belajar dari yang lain, maupun untuk meningkatkan kemampuan intelektual
dan
kesusastraan
Indonesia. Harapannya adalah para siswa mampu mengembangkan pengetahuan,
keterampilan
berbahasa, bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, serta menghargai manusia
dan nilainilai kemanusiaan melalui karya sastra. Oleh karena itu, guru harus
menciptakan kondisi yang
memungkinkan
terjadinya proses berpikir dan berimajinasi secara optimal.
Proses
berpikir optimal yang seharusnya melekat dan terus-menerus terjadi dalam
pembelajaran bahasa Indonesia harus disadari pendidik dan peserta didik dalam
setiap episode pembelajaran. Ketika pendidik menghadirkan sebuah teks,
misalnya, isi teks itu akan dipahami dengan baik bila peserta didik mampu dan
mau berpikir (logis, kritis, dan kreatif). Selanjutnya, peserta didik akan
dapat memproduksi gagasan dan lain-lain yang baru berdasarkan gagasan-gagasan
yang ditemukan dalam teks tersebut.
Syaratnya adalah
peserta didik berkemauan dan berkemampuan untuk berpikir dengan baik pula.
Misalnya, peserta
didik menghubung-hubungkan, membandingkan, mempertentangkan, memilih-milah,
menafsirkan data,
dan menyimpulkan hasil analisis untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang
akan dituangkan ke dalam tulisan atau paparan lisan dalam suatu peristiwa
berbahasa tertentu. Dengan
demikian,
kegiatan berimajinasi dan berpikir merupakan inti dalam pembelajaran bahasa
Indonesia.
Bahasa merupakan
sarana berimajinasi, berpikir, berkreasi, dan berekspresi. Dalam hal ini,
bahasa
merepresentasikan perilaku masyarakat penuturnya, baik dalam wujud bahasa
verbal maupun
bahasa nonverbal
karena perilaku merupakan ekspresi hasil pimikiran atau perenungan. Dalam
fungsi
sebagai sarana
berimajinasi dan berpikir, bahasa Indonesia membentuk pola angan-angan dan pola
pikir
sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga bahasa Indonesia turut membentuk sikap
kejujuran,
keikhlasan, dan ketakwaan, serta kecerdasan. Sebagai sarana ekspresi dan
kreasi, bahasa
Indonesia
merepresentasikan hasil pemikiran ataupun perenungan dalam alam keindonesiaan
untuk
membentuk rasa
kebersamaan, kesetiakawanan, dan persatuan sebagai bangsa Indonesia dan karena
itu bahasa Indonesia turut membentuk kepribadian anak Indonesia.
Dilihat
dari cakupan genre berbahasa dan bersastra yang akan dikembangkan pada diri
peserta
didik, mata
pelajaran bahasa Indonesia mencakup kegiatan memahami beragam teks (genre),
seperti
deskripsi
faktual, laporan informasi, prosedur, melaporkan prosedur, melaporkan fakta,
penjelasan,
eksposisi,
diskusi, deskripsi sastrawi, naratif, pelaporan sastrawi, dan tanggapan.
Aktualisasi atas beragam teks tersebut diwarnai dengan keterampilan berpikir
tingkat tinggi, yakni analisis, sistesis, evaluasi, dan kreasi. Paparan
tersebut mengindikasikan bahwa kunci utama pembelajaran bahasa Indonesia adalah
kompetensi komunikatif dan apresiatif. Kompetensi komunikatif merupakan
seperangkat kemampuan yang potensial untuk melakukan kegiatan komunikasi.
Kompetensi komunikatif melibatkan kemampuan gramatikal dan kemampuan dalam
pengungkapannya sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-norma pemakaian
bahasa dalam konteks sosiokulturalnya (Hymes, 1972). Ini artinya, kegiatan
dalam mata pelajaran bahasa Indonesia adalah kegiatan berkomunikasi, yakni
peserta didik berbuat dengan bahasa.
Kompetensi
apresiatif melibatkan kemampuan mengenali, menyukai, menikmati, menggeluti, dan
menilai. Daya nalar dan daya kreatif lebih diberi peluang untuk dikembangkan
daripada hanya
pengandalan diri
pada menghapal semata-mata. Melalui konteks, peserta didik diajak untuk melakukan
kegiatan
berbahasa dan bersastra. Selain daya nalar dan daya kreatif, peserta didik juga
diberdayakan
dengan
pengembangan kepekaan rasa terhadap sesama beserta tata nilai dalam
lingkungannya, seperti
melalui karya
sastra.
Berdasarkan
paparan mengenai relasi bahasa Indonesia dengan Kurikulum 2013, mata pelajaran
bahasa Indonesia
ditempatkan sebagai media perekat bangsa; media penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan
seni budaya; media pengembangan berpikir dan berkreasi; media untuk komunikasi
dan
memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, bahasa Indonesia harus
menjadi
bagian dalam
mempersiapkan peserta didik untuk hidup di masa depan. Persoalan yang sering
muncul
adalah apakah
penempatan tersebut sudah dapat dijawab.
Di
dalam praktik pendidikan di Indonesia, mata pelajaran bahasa Indonesia
merupakan mata
pelajaran wajib
dalam setiap kurikulum. Secara historis, kurikulum di Indonesia paling tidak
sudah
mengalami
perubahan sebanyak 11 kali hingga kini. Mata pelajaran bahasa Indonesia selalu
menjadi isu
sentral di dalam
setiap perubahan. Dengan menganalisis
Kurikulum 2013 substansi secara umum yang paling menonjol adalah masalah
pengurangan jumlah mata pelajaran di SD dari 11 menjadi 6. Mata pelajaran IPA,
IPS, matematika diintengrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.
Jumlah jam sekolah bertambah antara 3 s.d. 4 jam per minggu. Sementara itu,
struktur kurikulum SMP yang paling menonjol adalah jumlah mata pelajaran berkurang
menjadi 10 dari 12. IPA dan IPS muncul, tetapi sebagai mata pelajaran integrative
science dan integrartive social studies, bukan sebagai disiplin ilmu. Durasi
jam pelajaran bertambah 6 jam per minggu menjadi 38 jam. Pada jenjang SMA tidak ada erubahan mendasar, kecuali jumlah
jam bertambah 1 jam per minggu. Orientasi yang dikembangkan pada semua jenjang
difokuskan pada pengembangan tiga kompetensi, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan (Puskurbuk,
2013).
Di
sisi lain, Kurikulum 2013 bersifat
lintas kurikulum, menjadikan bahasa sebagai sarana berpikir
dan berimajinasi,
berbasis wacana (dalam konteks kurikulum 2013 berupa wacana IPA, IPS, dan
matematika), dan
pengembangan literasi. Implikasinya adalah, pengembangan pengalaman
bereksperimen
lebih banyak. Kemudian, bukan hanya mendapatkan pengetahuan, melainkan juga
menghasilkan
pengetahuan baru. Fondasi ini menjadi landasan bagi pengembangan literasi siswa
pada
jenjang SD, SMP,
dan SMA.
Sesuai
dengan paradigma pembelajaran, mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi sentral
bagi
mata pelajaran
yang lain. Sebagai jawaban atas posisi tersebut, belajar berbahasa dan
bersastra tidak lagi diorientasikan
kepada belajar mengenai struktur bahasa dan konsep sastra, melainkan diarahkan
kepada bagaimana siswa mengalami untuk melakukan kegiatan berbahasa dan
bersastra, baik secara reseptif maupun produktif.
Hal
tersebut sebenarnya sudah menjadi ciri utama KTSP. KTSP bahkan mengelaborasi
UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di
bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan dan kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah.
Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yakni
kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing
satuan pendidikan sehingga menjadikan guru sebagai ‖tuan rumah‖ di sekolahnya. Kurikulum utama
(nasional) dibuat sebagai kebjiakan pusat, sedangkan kurikulum turunannya
menjadi tugas profesi guru. Guru sebagai profesi berwenang dan bahkan waijb menyusun
sendiri silabus, RPP, bahan ajar, sistem penilaian, dan perangkat pembelajaran
lainnya.
Untuk
sampai kepada tujuan tersebut, guru berperan sentral di dalam menerjemahkan
substansi kurikulum ke dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan semangat
desentralisasi pendidikan dalam wujud pemberian ruang partisipasi kreatif guru
dan pengelola sekolah di dalam menjabarkan rencana, metode, dan alat-alat
pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan guru adalah memahami dan
menerjemahkan
Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (Kurikulum Nasional). Adapun ruang
kreatif dapat
dimaknai melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di sinilah para
guru dan
pengelola sekolah
termasuk masyarakat dapat menerjemahkan Kurikulum Nasional berdasarkan
kontekskonteks yang diidealkan mengenai pembelajaran, termasuk Standar Isi
Kurikulum bahasa Indonesia.
Berdasarkan
perbandingan tersebut, Kurikulum 2013 sesungguhnya merupakan penguatan atas
KTSP, termasuk di
dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penguatan itu tampak di dalam paradigma
pembelajaran yang
berpusat pada siswa, pendekatan yang berpusat pada penciptaan dan pengayaan
pengalaman
(pengetahuan) empiris di dalam berbahasa dan bersastra, serta penguatan
literasi. Perbedaan paling mendasar adalah rumusan kompetensi dasar yang
direduksi hanya berbasis pada genre teks sebagai sebuah konsep. Ukuran
kepemilikan kompetensi siswa adalah kemampuan mengidentifikasi jenis-jenis teks
(yang juga minimalis). Alih-alih menggunakan metode ilmiah, yang terjadi justru
sebaliknya, siswa hanya belajar teks secara struktural. Belum lagi keberagaman
teks yang hilang dari kurikulum, misalnya, genre teks sastra realisme, fiksi,
formula, fantasi, sastra tradisional, dan puisi. Terjadilah dengan apa yang
disebut dengan reduksi atas metode ilmiah yang hanya mendasarkan
pada paradigma
positivisme yang digadang-gadang dalam paradigma pembelajaran berbasis
kurikulum
2013. Padahal,
pembelajaran metode ilmiah positivisme hanyalah salah satu cara memperoleh ilmu
pengetahuan
(pengalaman) dengan mendasarkan pada model menanya, mengamati, mengajukan
hipotesis,
menganalisis, menyimpulkan, dan mempublikasikan. Dengan kata lain, paradigma
ini hanya
menguji
pengalaman lama (teori). Di dalam paradigma baru, ada pergeseran perolehan
pengalaman ke
arah
naturalistik. Pengalaman baru diperoleh melalui subjektivitas siswa (persepsi)
menuju suatu fokus
yang baru.
Di
dalam pembelajaran berbahasa dan bersastra, kedua paradigma tersebut saling
melengkapi.
Artinya, metode
ilmiah positivisme yang digunakan di dalam pembelajaran bukanlah satu-satunya,
melainkan masih
ada paradigma metode ilmiah naturalisme yang justru makin dekat dengan
pembelajaran komunikatif, kontekstual, proyek, inkuiri, dan lain-lain.
Paradigma positivisme yang ‖mendewakan‖ kemapanan, didekonstruksi
menjadi pengalaman-pengalaman komprehensif yang beragam secara naturalisme. Di dalam pandangan naturalisme, struktur
bahasa dan konsep sastra dipelajari secara induktif dan menjadi bagian tak
terpisahkan dari pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra. Sesuai dengan paradigma
pembelajaran terbaru dan pendekatan-pendekatan turunannya, struktur bahasa dan
konsep sastra akan dipelajari siswa di dalam konteks nyata. Konteks nyata ini
dimaksudkan agar siswa dapat memahami struktur bahasa dan konsep sastra secara
fungsional sehingga kebermanfaatan serta kebertautannya menjadi jelas.
Implikasinya terhadap pembelajaran, siswa merasa tertarik, merasa memerlukan,
merasa senang belajar berbahasa dan bersastra, serta mendorong mereka menyukai
belajar mata pelajaran yang lain.
Persoalan
yang muncul dalam Kurikulum 2013 adalah mata pelajaran bahasa Indonesia sangat
minimalis. Mata
pelajaran bahasa Indonesia hanya dikembangkan berdasarkan satu teori tentang
genre
teks, yakni
melalui wacana-wacana, seperti deskripsi faktual, laporan informasi, prosedur,
melaporkan
prosedur,
melaporkan fakta, penjelasan, eksposisi, diskusi, deskripsi sastrawi, naratif,
pelaporan sastrawi, dan tanggapan. Bahkan, genre teks sastra terkesan hilang
dari kurikulum. Teks sastra sebagai genre yang amat beragam direduksi hanya
menjadi teks naratif, sedangkan teks dialog (drama) dan puisi tidak jelas posisinya.
Padahal, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia untuk menjadikan siswa-siswa
memiliki literasi tinggi. Sudah rabunkah bangsa Indonesia (meminjam istilah
Taufik Ismail) sehingga sastra tidak lagi menjadi kebijakan dalam menciptakan
literasi siswa?
Sastra
secara politik menjadi satu bagian penting dalam pergerakan kemerdekaan
Indonesia.
Bersatunya para
pemuda di tahun 1928 berawal dari satu puisi besar berjudul ‖Sumpah Pemuda‖.
Bahkan, para
pemuda pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti M. Yamin, M. Hatta, Amir
Hamzah,
Chairil Anwar,
Sutan Takdir Alisyahbana adalah para pencerah anak bangsa melalui karya-karya
sastra
mereka.
Hiruk-pikuk kemerdekaan adalah karya sastra. Sejatinya, menghilangkan sastra
dari peradaban
bangsa Indonesia
adalah matinya literasi bangsa. Oleh karena itu, Kurikulum (Minimalis) 2013
haruslah
dimaknai sebagai
proses kreatif para guru bahasa Indonesia untuk mengelaborasi keluasan dan
kedalaman genre teks menjadi analisis wacana kritis melalui kegiatan berbuat
dengan bahasa dan mengapresiasi karya sastra:
membaca-menulis-berbicara-mendengarkan.
Ada
empat hal yang harus dibenahi agar pengalaman gagalnya perubahan kurikulum
sebelumnya tidak terulang, yakni substansi Kurikulum 2013 mata pelajaran bahasa
Indonesia, kesiapan siswa, kesiapan guru, serta kesiapan sekolah (sarana dan
prasarana). Untuk kurikulum minimalis sudah
dipaparkan di
atas. Selanjutnya, faktor kesiapan siswa dan guru merupakan faktor utama
gagalnya
kurikulum
terdahulu.
Perbandingan
siswa Indonesia dengan Singapura di dalam menjawab butir soal level sempurna 24
kali lebih rendah. Bahkan, capaian siswa Indonesia untuk butir soal level
sempurna tidak mencapai 1%. Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data-data
sebelumnya, baik laporan PIRLS maupun PISA yang sejak tahun 1992 Indonesia terlibat di
dalamnya. Dampaknya adalah literasi dalam mata pelajaran
matematika dan
IPA sejak tahun 2000 hingga tahun 2009 masih di bawah rata-rata standar
internasional. Artinya, mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi sentral bagi
pengembangan literasi untuk mata pelajaran yang lain.
Problematika
buku teks pelajaran bahasa Indonesia yang dikembangkan berdasarkan Kurikulum
2013 dan dibuat
Kemdikbud juga memunculkan peroalan baru. Isu-isu pornografi dan kekerasan yang
seringkali muncul
atas buku teks pelajaran yang terbit tanpa melalui sistem penilaian ternyata
muncul
dalam buku teks
terbitan Kemdikbud. Hal ini terjadi pada buku teks pelajaran bahasa Indonesia
SD/MI
dan SMP/MTs.
Fakta
lain menunjukkan bahwa judul buku baru yang disiapkan hanya 19 buah untuk satu
juta
penduduk atau
hanya tersedia 6000 judul buku baru setiap tahun. Keadaan perpustakaan sekolah
juga
masih sangat
memprihatinkan. Hampir di semua sekolah tidak ada pustakawan. Koleksi buku yang
sangat terbatas serta hanya berisi buku teks pelajaran.
Bagaimana sikap
kita menghadapi problematika tersebut?
Perlulah disadari
bahwa kebijakan kurikulum bahasa Indonesia yang dikembangkan hanya berdasarkan
satu teori mengenai genre teks harus disikapi sebagai kurikulum minimalis.
Artinya, para pakar dan guru jangan sampai terninabobokan dengan serba tinggal
memakai, melainkan harus melakukan elabori ke dalam kegiatan berbahasa dan bersastra
yang lebih bermakna, seperti membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan.
Genre teks harus dimaknai sebagai suatu kegiatan berbuat dengan bahasa dan
berapresiasi dengan sastra. Genre teks yang hanya berupa teks naratif di dalam
sastra, misalnya, harus dibawa ke dalam genre teks sastra yang lebih luas, yakni teks puitik dan dialog.
Kondisi
tersebut secara kemanusiaan akan melemahkan kepribadian bangsa. Semangat untuk
belajar,
berdisiplin, beretika, bekerja keras, dan sebagainya akan menurun. Peserta
didik banyak yang
tidak siap untuk
menghadapi kehidupan, seperti serangan budaya luar yang negatif, berkembangnya
amuk massa, meningkatnya kemiskinan,
menjamurnya korupsi, dan sebagainya.
Perlu dipahamai
bahwa 2/3 kreativitas diperoleh melalui pendidikan, 1/3 genetis dan 1/3 intelejensia
dari pendidikan, 2/3 genetis. Pendidikan kreatif mengedepankan kemampuan
mengamati, bertanya, bernalar, mencoba, dan membentuk jejaring. Mata pelajaran
bahasa Indonesia harus mengedepankan kemampuan mengamati, bertanya, bernalar,
mencoba, dan membentuk jejaring. Namun, apakah standar kompetensi lulusan mata
pelajaran bahasa Indonesia sudah mencerminkan harapan tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang banyak berkembang di tataran akademis
maupun praktis. Dengan melihat fenomena di atas, pertanyaan-pertanyaan ini
belum terjawab dengan baik oleh Kurikulum 2013. Untuk itu, di tangan gurulah
jawaban-jawaban akan dielaborasi secara memadai.
Berdasarkan
arah kebijakan pendidikan bahasa dilihat dari perubahan kurikulum tersebut
adalah munculnya implikasi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. Implikasi
yang harus dibenahi adalah pertama, kesiapan guru dan siswa (seperti masalah
kompetensi dan literasi); kedua, penyediaan saranaprasarana (seperti buku dan
perpustakaan sekolah); ketiga, konten kurikulum bahasa Indonesia
(diperlukan
pengelaborasian secara memadai). Di sinilah sisi lemah kebijakan pendidikan
bahasa
Indonesia yang
tercermin melalui Kurikulum 2013. Semoga, faktor-faktor ini akan menjadi
perhatian
utama di dalam
pelaksanaan Kurikulum 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Puskurbuk.
(2012). Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta: Puskurbuk Balitbang Kemdikbud.
Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 36c.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.202
0 comments:
Post a Comment