MISI

GO_ON @"GERAKAN GEMAR MEMBACA " IMPROVE HUMAN RESOURCES



perpustakan_on_facebok

https://www.facebook.com/Perpustakaan-SMK-Negeri-10-Malang-292065117926453/?fref=ts

Thursday, December 4, 2014

Implementasi Kurikulum 2013 Dan Problematikanya



Kurikulum 2013  telah  menjadikan mata pelajaran bahasa Indonesia di SD menjadi sentral dari mata pelajaran IPA, IPS, dan matematika. Model pembelajaran yang mengiringi kebijakan ini adalah model tematik-teritegrasi. Sementara itu, mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP dan SMA berpusat pada kompetensi dengan orientasi pada pengembangan literasi. Model pembelajaran yang mengiringi kebijakan ini adalah model ilmiah. Namun, yang seringkali menjadi faktor penyebab kegagalan dari perubahan kurikulum tidak pernah diperhatikan. Beberapa faktor tersebut adalah pertama, kesiapan guru dan siswa (kompetensi dan literasi); kedua, penyediaan sarana-prasarana (seperti buku dan perpustakaan sekolah); ketiga, konten kurikulum bahasa Indonesia (hasil kebijakan masa kini mengabaikan keilmuan di dalam berbahasa dan bersastra).
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 36c dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 33 bahasa Indonesia adalah bahasa negara dan bahasa pengantar pendidikan nasional.
Kedudukannya yang begitu tinggi menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sangat penting
bagi pengembangan pendidikan bangsa Indonesia. Artinya, penguasaan bahasa Indonesia akan sangat
menentukan keberhasilan pendidikan bangsa Indonesia. Dengan demikian, arah kebijakan pendidikan
bahasa Indonesia tentulah tidak terlepas dari dasar negara tersebut.
Lalu, bagaimana dengan kebijakan pendidikan bahasa Indonesia dilihat dari perspektif perubahan
kurikulum (Kurikulum 2013)? Dengan meminjam ungkapan klasik dari Heraclites (530 SM) bahwa
segala sesuatu berubah (Pantai Rai). Artinya, perubahan merupakan konsekuensi logis dari hakikat
pendidikan yang dinamis. Hakikat ini mencerminkan adanya pergerakan yang tidak lagi mengikuti hukum >kecepatan, melainkan hukum >percepatan. Suatu lompatan yang tidak lagi bergerak mengikuti dan menyesuaikan dengan perubahan faktor-faktor yang melandasinya, baik filosofis, psikologis, sosiologis, maupun IPTEK. Perubahan ini membuat lompatan-lompatan yang melampaui zaman. Misalnya, sepuluh tahun lalu tak terbayangkan semua orang dapat bergerak menyusuri lorong-lorong peradaban dengan berselancar melewati batas ruang dan waktu melalui internet. Bahkan, anak-anak saat ini sedang berada dalam tahapan yang hidup dan dibesarkan dalam era digital, dengan segala kompleksitas yang menyertainya.
Bahasa dan sastra memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan menjadi jalan menuju keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi.
Pembelajaran bahasa dan sastra diharapkan membantu peserta didik untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain; mengemukakan gagasan dan perasaan; berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut; serta menemukan, menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.
Bahasa Indonesia merupakan salah satu sarana berkomunikasi, baik untuk saling berbagi
pengalaman, saling belajar dari yang lain, maupun untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan
kesusastraan Indonesia. Harapannya adalah para siswa mampu mengembangkan pengetahuan,
keterampilan berbahasa, bersikap positif terhadap bahasa Indonesia, serta menghargai manusia dan nilainilai kemanusiaan melalui karya sastra. Oleh karena itu, guru harus menciptakan kondisi yang
memungkinkan terjadinya proses berpikir dan berimajinasi secara optimal.
Proses berpikir optimal yang seharusnya melekat dan terus-menerus terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus disadari pendidik dan peserta didik dalam setiap episode pembelajaran. Ketika pendidik menghadirkan sebuah teks, misalnya, isi teks itu akan dipahami dengan baik bila peserta didik mampu dan mau berpikir (logis, kritis, dan kreatif). Selanjutnya, peserta didik akan dapat memproduksi gagasan dan lain-lain yang baru berdasarkan gagasan-gagasan yang ditemukan dalam teks tersebut.
Syaratnya adalah peserta didik berkemauan dan berkemampuan untuk berpikir dengan baik pula.
Misalnya, peserta didik menghubung-hubungkan, membandingkan, mempertentangkan, memilih-milah,
menafsirkan data, dan menyimpulkan hasil analisis untuk memunculkan gagasan-gagasan baru yang akan dituangkan ke dalam tulisan atau paparan lisan dalam suatu peristiwa berbahasa tertentu. Dengan
demikian, kegiatan berimajinasi dan berpikir merupakan inti dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Bahasa merupakan sarana berimajinasi, berpikir, berkreasi, dan berekspresi. Dalam hal ini,
bahasa merepresentasikan perilaku masyarakat penuturnya, baik dalam wujud bahasa verbal maupun
bahasa nonverbal karena perilaku merupakan ekspresi hasil pimikiran atau perenungan. Dalam fungsi
sebagai sarana berimajinasi dan berpikir, bahasa Indonesia membentuk pola angan-angan dan pola pikir
sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga bahasa Indonesia turut membentuk sikap
kejujuran, keikhlasan, dan ketakwaan, serta kecerdasan. Sebagai sarana ekspresi dan kreasi, bahasa
Indonesia merepresentasikan hasil pemikiran ataupun perenungan dalam alam keindonesiaan untuk
membentuk rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan persatuan sebagai bangsa Indonesia dan karena itu bahasa Indonesia turut membentuk kepribadian anak Indonesia.
Dilihat dari cakupan genre berbahasa dan bersastra yang akan dikembangkan pada diri peserta
didik, mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup kegiatan memahami beragam teks (genre), seperti
deskripsi faktual, laporan informasi, prosedur, melaporkan prosedur, melaporkan fakta, penjelasan,
eksposisi, diskusi, deskripsi sastrawi, naratif, pelaporan sastrawi, dan tanggapan. Aktualisasi atas beragam teks tersebut diwarnai dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi, yakni analisis, sistesis, evaluasi, dan kreasi. Paparan tersebut mengindikasikan bahwa kunci utama pembelajaran bahasa Indonesia adalah kompetensi komunikatif dan apresiatif. Kompetensi komunikatif merupakan seperangkat kemampuan yang potensial untuk melakukan kegiatan komunikasi. Kompetensi komunikatif melibatkan kemampuan gramatikal dan kemampuan dalam pengungkapannya sesuai dengan fungsi, situasi, serta norma-norma pemakaian bahasa dalam konteks sosiokulturalnya (Hymes, 1972). Ini artinya, kegiatan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia adalah kegiatan berkomunikasi, yakni peserta didik berbuat dengan bahasa.
Kompetensi apresiatif melibatkan kemampuan mengenali, menyukai, menikmati, menggeluti, dan menilai. Daya nalar dan daya kreatif lebih diberi peluang untuk dikembangkan daripada hanya
pengandalan diri pada menghapal semata-mata. Melalui konteks, peserta didik diajak untuk melakukan
kegiatan berbahasa dan bersastra. Selain daya nalar dan daya kreatif, peserta didik juga diberdayakan
dengan pengembangan kepekaan rasa terhadap sesama beserta tata nilai dalam lingkungannya, seperti
melalui karya sastra.
Berdasarkan paparan mengenai relasi bahasa Indonesia dengan Kurikulum 2013, mata pelajaran
bahasa Indonesia ditempatkan sebagai media perekat bangsa; media penguasaan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni budaya; media pengembangan berpikir dan berkreasi; media untuk komunikasi dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, bahasa Indonesia harus menjadi
bagian dalam mempersiapkan peserta didik untuk hidup di masa depan. Persoalan yang sering muncul
adalah apakah penempatan tersebut sudah dapat dijawab.
Di dalam praktik pendidikan di Indonesia, mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan mata
pelajaran wajib dalam setiap kurikulum. Secara historis, kurikulum di Indonesia paling tidak sudah
mengalami perubahan sebanyak 11 kali hingga kini. Mata pelajaran bahasa Indonesia selalu menjadi isu
sentral di dalam setiap perubahan.  Dengan menganalisis Kurikulum 2013 substansi secara umum yang paling menonjol adalah masalah pengurangan jumlah mata pelajaran di SD dari 11 menjadi 6. Mata pelajaran IPA, IPS, matematika diintengrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Jumlah jam sekolah bertambah antara 3 s.d. 4 jam per minggu. Sementara itu, struktur kurikulum SMP yang paling menonjol adalah jumlah mata pelajaran berkurang menjadi 10 dari 12. IPA dan IPS muncul, tetapi sebagai mata pelajaran integrative science dan integrartive social studies, bukan sebagai disiplin ilmu. Durasi jam pelajaran bertambah 6 jam per minggu menjadi 38 jam. Pada jenjang  SMA tidak ada erubahan mendasar, kecuali jumlah jam bertambah 1 jam per minggu. Orientasi yang dikembangkan pada semua jenjang difokuskan pada pengembangan tiga kompetensi, yakni sikap,  keterampilan, dan pengetahuan (Puskurbuk, 2013).
Di sisi lain,  Kurikulum 2013 bersifat lintas kurikulum, menjadikan bahasa sebagai sarana berpikir
dan berimajinasi, berbasis wacana (dalam konteks kurikulum 2013 berupa wacana IPA, IPS, dan
matematika), dan pengembangan literasi. Implikasinya adalah, pengembangan pengalaman
bereksperimen lebih banyak. Kemudian, bukan hanya mendapatkan pengetahuan, melainkan juga
menghasilkan pengetahuan baru. Fondasi ini menjadi landasan bagi pengembangan literasi siswa pada
jenjang SD, SMP, dan SMA.
Sesuai dengan paradigma pembelajaran, mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi sentral bagi
mata pelajaran yang lain. Sebagai jawaban atas posisi tersebut, belajar berbahasa dan bersastra tidak lagi  diorientasikan kepada belajar mengenai struktur bahasa dan konsep sastra, melainkan diarahkan kepada bagaimana siswa mengalami untuk melakukan kegiatan berbahasa dan bersastra, baik secara reseptif maupun produktif.
Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi ciri utama KTSP. KTSP bahkan mengelaborasi UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan kebutuhan oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan dan kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah. Kurikulum ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yakni kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan sehingga menjadikan guru sebagai tuan rumah di sekolahnya. Kurikulum utama (nasional) dibuat sebagai kebjiakan pusat, sedangkan kurikulum turunannya menjadi tugas profesi guru. Guru sebagai profesi berwenang dan bahkan waijb menyusun sendiri silabus, RPP, bahan ajar, sistem penilaian, dan perangkat pembelajaran lainnya.
Untuk sampai kepada tujuan tersebut, guru berperan sentral di dalam menerjemahkan substansi kurikulum ke dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan semangat desentralisasi pendidikan dalam wujud pemberian ruang partisipasi kreatif guru dan pengelola sekolah di dalam menjabarkan rencana, metode, dan alat-alat pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan guru adalah memahami dan
menerjemahkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (Kurikulum Nasional). Adapun ruang
kreatif dapat dimaknai melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di sinilah para guru dan
pengelola sekolah termasuk masyarakat dapat menerjemahkan Kurikulum Nasional berdasarkan kontekskonteks yang diidealkan mengenai pembelajaran, termasuk Standar Isi Kurikulum bahasa Indonesia.
Berdasarkan perbandingan tersebut, Kurikulum 2013 sesungguhnya merupakan penguatan atas
KTSP, termasuk di dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penguatan itu tampak di dalam paradigma
pembelajaran yang berpusat pada siswa, pendekatan yang berpusat pada penciptaan dan pengayaan
pengalaman (pengetahuan) empiris di dalam berbahasa dan bersastra, serta penguatan literasi. Perbedaan paling mendasar adalah rumusan kompetensi dasar yang direduksi hanya berbasis pada genre teks sebagai sebuah konsep. Ukuran kepemilikan kompetensi siswa adalah kemampuan mengidentifikasi jenis-jenis teks (yang juga minimalis). Alih-alih menggunakan metode ilmiah, yang terjadi justru sebaliknya, siswa hanya belajar teks secara struktural. Belum lagi keberagaman teks yang hilang dari kurikulum, misalnya, genre teks sastra realisme, fiksi, formula, fantasi, sastra tradisional, dan puisi. Terjadilah dengan apa yang disebut dengan reduksi atas metode ilmiah yang hanya mendasarkan
pada paradigma positivisme yang digadang-gadang dalam paradigma pembelajaran berbasis kurikulum
2013. Padahal, pembelajaran metode ilmiah positivisme hanyalah salah satu cara memperoleh ilmu
pengetahuan (pengalaman) dengan mendasarkan pada model menanya, mengamati, mengajukan
hipotesis, menganalisis, menyimpulkan, dan mempublikasikan. Dengan kata lain, paradigma ini hanya
menguji pengalaman lama (teori). Di dalam paradigma baru, ada pergeseran perolehan pengalaman ke
arah naturalistik. Pengalaman baru diperoleh melalui subjektivitas siswa (persepsi) menuju suatu fokus
yang baru.
Di dalam pembelajaran berbahasa dan bersastra, kedua paradigma tersebut saling melengkapi.
Artinya, metode ilmiah positivisme yang digunakan di dalam pembelajaran bukanlah satu-satunya,
melainkan masih ada paradigma metode ilmiah naturalisme yang justru makin dekat dengan pembelajaran komunikatif, kontekstual, proyek, inkuiri, dan lain-lain. Paradigma positivisme yang mendewakan kemapanan, didekonstruksi menjadi pengalaman-pengalaman komprehensif yang beragam secara naturalisme.  Di dalam pandangan naturalisme, struktur bahasa dan konsep sastra dipelajari secara induktif dan menjadi bagian tak terpisahkan dari pengembangan kemampuan berbahasa dan bersastra. Sesuai dengan paradigma pembelajaran terbaru dan pendekatan-pendekatan turunannya, struktur bahasa dan konsep sastra akan dipelajari siswa di dalam konteks nyata. Konteks nyata ini dimaksudkan agar siswa dapat memahami struktur bahasa dan konsep sastra secara fungsional sehingga kebermanfaatan serta kebertautannya menjadi jelas. Implikasinya terhadap pembelajaran, siswa merasa tertarik, merasa memerlukan, merasa senang belajar berbahasa dan bersastra, serta mendorong mereka menyukai belajar mata pelajaran yang lain.
Persoalan yang muncul dalam Kurikulum 2013 adalah mata pelajaran bahasa Indonesia sangat
minimalis. Mata pelajaran bahasa Indonesia hanya dikembangkan berdasarkan satu teori tentang genre
teks, yakni melalui wacana-wacana, seperti deskripsi faktual, laporan informasi, prosedur, melaporkan
prosedur, melaporkan fakta, penjelasan, eksposisi, diskusi, deskripsi sastrawi, naratif, pelaporan sastrawi, dan tanggapan. Bahkan, genre teks sastra terkesan hilang dari kurikulum. Teks sastra sebagai genre yang amat beragam direduksi hanya menjadi teks naratif, sedangkan teks dialog (drama) dan puisi tidak jelas posisinya. Padahal, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia untuk menjadikan siswa-siswa memiliki literasi tinggi. Sudah rabunkah bangsa Indonesia (meminjam istilah Taufik Ismail) sehingga sastra tidak lagi menjadi kebijakan dalam menciptakan literasi siswa?
Sastra secara politik menjadi satu bagian penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Bersatunya para pemuda di tahun 1928 berawal dari satu puisi besar berjudul Sumpah Pemuda.
Bahkan, para pemuda pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti M. Yamin, M. Hatta, Amir Hamzah,
Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisyahbana adalah para pencerah anak bangsa melalui karya-karya sastra
mereka. Hiruk-pikuk kemerdekaan adalah karya sastra. Sejatinya, menghilangkan sastra dari peradaban
bangsa Indonesia adalah matinya literasi bangsa. Oleh karena itu, Kurikulum (Minimalis) 2013 haruslah
dimaknai sebagai proses kreatif para guru bahasa Indonesia untuk mengelaborasi keluasan dan kedalaman genre teks menjadi analisis wacana kritis melalui kegiatan berbuat dengan bahasa dan mengapresiasi karya sastra: membaca-menulis-berbicara-mendengarkan.
Ada empat hal yang harus dibenahi agar pengalaman gagalnya perubahan kurikulum sebelumnya tidak terulang, yakni substansi Kurikulum 2013 mata pelajaran bahasa Indonesia, kesiapan siswa, kesiapan guru, serta kesiapan sekolah (sarana dan prasarana). Untuk kurikulum minimalis sudah
dipaparkan di atas. Selanjutnya, faktor kesiapan siswa dan guru merupakan faktor utama gagalnya
kurikulum terdahulu.
Perbandingan siswa Indonesia dengan Singapura di dalam menjawab butir soal level sempurna 24 kali lebih rendah. Bahkan, capaian siswa Indonesia untuk butir soal level sempurna tidak mencapai 1%. Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data-data sebelumnya, baik laporan PIRLS maupun PISA yang  sejak tahun 1992 Indonesia terlibat di dalamnya. Dampaknya adalah literasi dalam mata pelajaran
matematika dan IPA sejak tahun 2000 hingga tahun 2009 masih di bawah rata-rata standar internasional. Artinya, mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi sentral bagi pengembangan literasi untuk mata pelajaran yang lain.
Problematika buku teks pelajaran bahasa Indonesia yang dikembangkan berdasarkan Kurikulum
2013 dan dibuat Kemdikbud juga memunculkan peroalan baru. Isu-isu pornografi dan kekerasan yang
seringkali muncul atas buku teks pelajaran yang terbit tanpa melalui sistem penilaian ternyata muncul
dalam buku teks terbitan Kemdikbud. Hal ini terjadi pada buku teks pelajaran bahasa Indonesia SD/MI
dan SMP/MTs.
Fakta lain menunjukkan bahwa judul buku baru yang disiapkan hanya 19 buah untuk satu juta
penduduk atau hanya tersedia 6000 judul buku baru setiap tahun. Keadaan perpustakaan sekolah juga
masih sangat memprihatinkan. Hampir di semua sekolah tidak ada pustakawan. Koleksi buku yang sangat terbatas serta hanya berisi buku teks pelajaran.
Bagaimana sikap kita menghadapi problematika tersebut?
Perlulah disadari bahwa kebijakan kurikulum bahasa Indonesia yang dikembangkan hanya berdasarkan satu teori mengenai genre teks harus disikapi sebagai kurikulum minimalis. Artinya, para pakar dan guru jangan sampai terninabobokan dengan serba tinggal memakai, melainkan harus melakukan elabori ke dalam kegiatan berbahasa dan bersastra yang lebih bermakna, seperti membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan. Genre teks harus dimaknai sebagai suatu kegiatan berbuat dengan bahasa dan berapresiasi dengan sastra. Genre teks yang hanya berupa teks naratif di dalam sastra, misalnya, harus dibawa ke dalam genre teks sastra yang  lebih luas, yakni teks puitik dan dialog.
Kondisi tersebut secara kemanusiaan akan melemahkan kepribadian bangsa. Semangat untuk
belajar, berdisiplin, beretika, bekerja keras, dan sebagainya akan menurun. Peserta didik banyak yang
tidak siap untuk menghadapi kehidupan, seperti serangan budaya luar yang negatif, berkembangnya amuk  massa, meningkatnya kemiskinan, menjamurnya korupsi, dan sebagainya.
Perlu dipahamai bahwa 2/3 kreativitas diperoleh melalui pendidikan, 1/3 genetis dan 1/3 intelejensia dari pendidikan, 2/3 genetis. Pendidikan kreatif mengedepankan kemampuan mengamati, bertanya, bernalar, mencoba, dan membentuk jejaring. Mata pelajaran bahasa Indonesia harus mengedepankan kemampuan mengamati, bertanya, bernalar, mencoba, dan membentuk jejaring. Namun, apakah standar kompetensi lulusan mata pelajaran bahasa Indonesia sudah mencerminkan harapan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang banyak berkembang di tataran akademis maupun praktis. Dengan melihat fenomena di atas, pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab dengan baik oleh Kurikulum 2013. Untuk itu, di tangan gurulah jawaban-jawaban akan dielaborasi secara memadai.
Berdasarkan arah kebijakan pendidikan bahasa dilihat dari perubahan kurikulum tersebut adalah munculnya implikasi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia. Implikasi yang harus dibenahi adalah pertama, kesiapan guru dan siswa (seperti masalah kompetensi dan literasi); kedua, penyediaan saranaprasarana (seperti buku dan perpustakaan sekolah); ketiga, konten kurikulum bahasa Indonesia
(diperlukan pengelaborasian secara memadai). Di sinilah sisi lemah kebijakan pendidikan bahasa
Indonesia yang tercermin melalui Kurikulum 2013. Semoga, faktor-faktor ini akan menjadi perhatian
utama di dalam pelaksanaan Kurikulum 2013.

DAFTAR PUSTAKA
Puskurbuk. (2012). Sosialisasi Kurikulum 2013. Jakarta: Puskurbuk Balitbang Kemdikbud.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36c.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.202

0 comments:

Post a Comment