MISI

GO_ON @"GERAKAN GEMAR MEMBACA " IMPROVE HUMAN RESOURCES



perpustakan_on_facebok

https://www.facebook.com/Perpustakaan-SMK-Negeri-10-Malang-292065117926453/?fref=ts

Saturday, March 8, 2014

Rahasia Kitab Tujuh, Motinggo Busye

Sejak ribuan lebah itu berhasil diusir oleh Pita Loka secara ajaib. Penduduk Kumayan merasa berhutang budi padanya. Tiap hari ada saja di antara penduduk yang datang ke rumah Pita Loka membawa beras, telur, padi, tebu, kelapa, minyak tanah, bahkan uang sebagai ucapan terimakasih Ki Putih Kelabu melihat perubahan gelagat Pita Loka setelah kehadiran tamu-tamu itu. Lalu dia menegur puterinya: “Pita Loka, sikapmu berubah jadi angkuh kepada mereka. Bukankah sikap itu tidak baik?”
“Memang itu saya sengaja, ayah”, sahut Pita Loka.
“Disengaja? Ah itu lebih buruk lagi” ujar Ki Putih Kelabu.
“Tapi akan lebih buruk lagi apabila terlalu saya layani penghormatan mereka. Saya akan
dikultuskan mereka menjadi Manusia Sakti. Padahal saya tidak memiliki apa-apa. Kecuali menjadi manusia biasa”. Ki Putih Kelabu tampak kecewa. Memang hari demi hari, setelah diselidikinya segala tingkah laku Pita Loka, puterinya tidak memperlihatkan perilaku yang ganjil-ganjil. Kembalinya dari Guha Lebah dan pernah termashur karena dianggap berhasil dalam ngelmu, lalu berhasilnya dia mengusir ribuan lebah yang sempat membuat penduduk Kumayan lumpuh dalam sakit dan panik itu, seakan-akan suatu peristiwa “biasa” saja. Yang paling mengejutkan Ki Putih Kelabu dan orang-orang di hari-hari belakangan ini adalah kegiatan Pita Loka mengurus legalisasi sekolahnya. Dia mundar-mandir ke Kakanwil PDK di Kumayan untuk mendaftarkan diri ikut ujian masuk ke SMA yang dibangun didesa itu.
“Kau mau bersekolah lagi, nak?” tanya sang ayah. “Lho, apa itu tak wajar?” tanya Pita Loka pada sang penanya. “Kau akan menjadi cerita dari mulut ke mulut bila bersekolah lagi”, ujar sang ayah, “Padahal di desa kita ini nama keluarga kita sedang naik. Dihormati. Dan terutama kau, sedang disegani”.
Percakapan itu terhenti, karena ada tamu.
“Itu Ki Lading Ganda bertamu lagi, ayah”, ujar Pita Loka, “Jika dia akan bertemu denganku, katakan aku sibukbelajar untuk ujian”.
“Baik”. kata ayah. yang lantas menuju beranda menyambut kedatangan Ki Lading Ganda. Setelah dipersilahkan duduk. Ki Lading Ganda bertanya: “Mana Ki Pita Loka?”
“Ki Pita Loka? Anda menyebutnya dengan Ki dihadapan namanya?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Memang kini, mau tak mau, kita musti mengakui dia sebagai seorang Guru. Jadi pantas dia disebut Ki Pita Loka. Karena dia puteri anda, maka anda menganggap Ki Pita Loka sebagai manusia biasa-biasa saja. Padahal dia salah satu orang sakti di Kumayan ini. menggenapi yang enam. Aku merasa, karena yang enam telah berkurang satu, maka dia setidaknya menggantikan kedudukan Ki Karat untuk menjadi Ketua kita. Jabatan ini kuanggap wajar, dan aku telah merembugkannya dengan tiga harimau Kumayan lainnya”. Ki Putih Kelabu sebetulnya tak dapat mengelak kenyataan yang dikemukakan oleh Ki Lading Ganda ini. Dia tercenung beberapa saat, kamudian berkata: “Dia sulit untuk diajak berunding!” “Memang begitulah watak dari tiap Guru Besar. Puterimu itu Guru Besar, bukan sekedar anak perawan biasa”, kata Ki Lading Ganda. “Tapi bagaimana akalku?” tanya Ki Putih Kelabu. “Panggil dia! Katakan Ki Lading Ganda ingin bicara sebentar dengan Guru Besar Pita Loka yang dia hormati!” Ki Putih Kelabu lalu masuk ke kamar Pita Loka. Memang Pita Loka sedang menghadapi beberapa buku. Pita Loka bertanya: “Sudah pulangkah Ki Lading Ganda ayah?” “Belum. Dia mohon menghadap kau!” “menghadap? Apa saya ini orang berkedudukan tinggi sampai seorang Ki Lading Ganda mau menghadap saya? Ah, katakan aku sibuk, ayah?” Ujar Pita Loka dan mulai menekuni buku Fisika. “Aku telah gagal membujuknya”, kata Ki Putih Kelabu.
“Tapi ini penting. Katakan pada Guru Besar itu, bahwa desa Kumayan sedang terancam. Katakan pada beliau,aku butuh seorang penafsir mimpi. Dan itu tidak lain kecuali Ki Pita Loka”, kata Ki Lading Ganda serius. Setelah memberitahukan pada Pita Loka. barulahah Pita Loka keluar dari kamarnya, lalu menerima tamunya. Sang Tamu, salah seorang dari Enam Harimau Kumayan, menghatur sembah pada Pita Loka. Lalu dia menceritakan mimpinya itu.
“Seorang wanita berpedang emas, menyatakan diri sebagai Ki Ratu Turki, memaklumkan akan menyerang lima harimau Kumayan serta keturunannya. Saya hanya ingin tahu takwil dari mimpi ini”, kata Ki Lading Ganda.
“Sebenarnya yang ahli mimpi itu Guru Gumara”, kata Ki Pita Loka. Ki Lading Ganda maklum, bahwa ucapan Ki Pita Loka itu adalah pengertian lain yang halus, bahwa dia menolak ajakan itu. Tapi dia tidak boleh berkecil hati, selagi hatinya masih menganggap Ki Pita Loka sebagai “Guru Besar”. Dengan kecewa, dia menyatakan pamit. Namun sempat bertanya: “Di mana Guru Gumara sekarang ini?”
“Seingat saya terakhir kali dia berada di Bukit Lebah. Setelah itu saya tidak tahu beliau pergi ke mana”.
“Desa kita semakin aneh. Tiga hari yang lalu ada seorang lelaki compang-camping. Duduk di gardu. Aku menyapanya. Dia diam. Gerak-geriknya memperlihatkan dirinya seorang yang berilmu”.
Ki Pita Loka tertarik, lalu bertanya: “Bapak tidak menanyakan namanya?” Grafity,  “Ada”.
“Siapa namanya?” “Disebutnya Dasa Laksana. Melihat nama begini, aku makin yakin dia orang berilmu, setidaknya sedang ngelmu. Atau menyamar”. “Dia menanyakan sesuatu?” tanya Pita Loka.
“Justru pertanyaannya inilah yang kuanggap ada kaitannya dengan mimpiku itu”, kata Ki Lading Ganda, yang kali ini dipersilahkan duduk kembali oleh Pita Loka. “Apa yang dia tanyakan?” tanya Pita Loka. “Alamat pemilik Kitab Tujuh”, jawab Ki Lading Ganda. “Itu saya baru dengar”, kata Pita Loka. “Tapi apa jawab Bapak?” “Saya tak menjawabnya. Itulah sebabnya saya ke sini. Kau yang telah berhadapan dengan Ki Tunggal, Ki Rotan maupun Ki Ibrahim Arkam, setidaknya pernah mendengar nama Kitab Tujuh itu. Dan pengembara tak dikenal itu minta dengan sopan kepadaku. agar diizinkan mendapatkan sebatang tebu merah di kebun Katib Endah. Kuizinkan saja. Lalu dia numpang tidur di gardu itu.Tapi keesokan harinya dia menghilang. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Ki Ratu Turki yang berpedang, yang mengumumkan akan menyerang Kumayan dan menghabiskan lima Harimau Kumayan serta keturunannya!”
Wajah Ki Lading Ganda berkeringat pertanda dia tak berdusta.
“Semoga saja dalam waktu tak lama, Guru Gumara sudah berada di Kumayan”, kata Pita Loka. “Aku mengusulkan, antara kau dan dia dijalin satu perkawinan yang syah. Supaya desa kita menjadi kuat karena dipagari oleh 7 harimau”, kata Ki Lading Ganda dengan nada memohon. Pita Loka hanya tersenyum simpul. Lalu Ki Lading Ganda melanjutkan: “Perkawinan itu akan direstui seluruh guru di Kumayan, dan, kukira Ayahmu yang terhormat ini. Bukan begitu Ki Putih Kelabu?” dan ditatapnya Ki Putih Kelabu, yang melirik pada Pita Loka.
“Jika memang itu jodoh. tak ada persoalan”. kata Ki Pita Loka jujur.
“Aku berani menyatakannya, karena sebelum Ki Gumara meninggalkan Kumayan, dia berpamitan kepada Lima Harimau di sini, terakhir padaku. Dia menyebutkan, dia minta restu karena akan menjemput Pita Loka dan adiknya, Harwati. Kami menafsirkan, bahwa islilah menjemput kau itu berarti akan melamarmu dan memperisteri anda. Dan Harwati kuanggap sebagai pengiring calon pengantin. Bukankah akan menjadi hebat, keturunan Ki Karat menjalin hubungan darah dengan keturunan Ki Putih Kelabu?” “Baiklah itu kita bicarakan di kemudian hari. Sekarang ini saya akan siap ujian masuk ke SMA. Lebih tiga tahun saya tak menyentuh buku pelajaran sekolah. Hal ini sama pentingnya dengan maklumat penyerbuan Ki Ratu Turki dalam mimpi tuan itu, Tuan Guru Lading Ganda”. Grafity,  “Jadi saya pulang hampa, tanpa membawa takwil mimpi itu?” tanya Ki Lading Ganda.
“Sudah saya anjurkan tuan bersabar sampai kembalinya Guru Gumara”, kata Pita Loka.
“Jika dia tidak kembali?” tanya Ki Lading Ganda. “Kita berpegang pada pepatah nenek moyang saja:
“Musuh pantang dicari, tapi jika datang pantang dielakkan”. Bukan begitu, ayah?” Pita Loka menoleh pada ayahnya, yang kemudian mengangguk-angguk ta”zim...
“Jadi wajar, Ki Putih Kelabu, jika saya menyebut puteri tuan ini sebagai Guru Besar. Guru besar hanya mengurus soal-soal yang besar. Tapi maaf, Ki Pita Loka . . . saya pun tidak bisa memperoleh pengetahuan mengenai Kitab Tujuh?”
“Kitab Tujuh?” Pita Loka kembali bertanya, “Saya malah baru mendengarnya sekali ini, dari anda!
Tidak anda tanyakan perihal Kitab Tujuh itu kepada orang pengembara itu?”
“Rasanya, tidak perlu. Kalau dia mencari kitab itu ke Kumayan sini, itu berarti kitab itu ada di sini”, kata Ki Lading Ganda. Mendengar itu Pita Loka tersenyum. Bahkan memberi jawaban yang secara disengaja mengecewakan: “Biarpun di sini, misalnya, saya tidak tertarik dengan masalah-masalah kesaktian lagi. Lebih seribu hari saya tekun dalam dunia begitu”.
Setelah perginya Ki Lading Ganda, terjadilah pertengkaran. Ki Putih Kelabu mengecam Pita Loka:
“Kau merendah. Kadang, merendah yang berkelebihan sama saja denqan sikap tinggi hati!”
“Itu perasaan ayah. Orang perasa selalu kurang suka berfikir”.
“Kau anggap aku goblok?” tanya sang ayah.
“Memang begitu. Otak ditaruh Tuhan letaknya dalam kepala. Kepala di atas. Dan hati, dalam dada. Letaknya dibawah kepala. Saya ingin penduduk Kumayan ini, termasuk ayah dan Ki Lading Ganda lebih mengutamakan otak dari hati. Biarpun hati berkata begini begitu, tapi yang memutuskan haruslah otak. Di bagian yang tertinggi dari hidup manusia”, kata Pita Loka. Tapi gadis ini menyesal melihat ayahnya murung di sore hari itu. Dan untuk mengobati hati ayah yang luka, malamnya dia suguhi makanan lezat yang ia masak sendiri dengan tekun. Ayahnya berlinang airmata ketika menikmati hidangan malam. Tapi muncul lagi tamu. Lagi – lagi, tamu itu Ki Lading Ganda. Perubahan tampak pada sikap menerima tamu yang diperlihatkan Pita Loka. “Lelaki aneh itu muncul lagi”, kata Ki Lading Ganda.
“Di mana dia?” tanya Pita Loka kaget. “Di gardu itu”.
“Apa katanya?”  “Dia minta padaku, agar dia diperkenalkan pada Ki Pita Loka”, ujar sang guru.
“Ah, saya tak kenal dia”“. ujar Pita Loka berdusta.
“Anda tak kenal manusia yang bernama Dasa Laksana?”
“Baiklah, tapi apa kepentingannya?” tanya Pita Loka.
“Dia akan menyampaikan suatu pesan. Dan itu harus tuan guru sendiri yang mendengarnya”.
kata Ki Lading Ganda. Mendengar ucapan itu, meremang bulu kuduk Pita Loka. Dia lalu bertanya: “Di mana dia sekarang?”
“Masih di gardu” kata Ki Lading Ganda.
“Baik. Saya akan ke sana ”, kata Ki Pita Loka.
“Bersama saya?”
“Tentu. Bersama tuan guru”, kata Ki Lading Ganda. Pita Loka lalu berkata pada ayahnya : “Sebaiknya ayah tak ikut”.
Ki Putih Kelabu tentu merasa kecewa. Pita Loka berjalan dengan langkah tegap bersama Ki Lading Ganda. Menjelang sampai ke gardu, dia melihat begitu banyak anak-anak dan orang dewasa yang berkumpul. Pita Loka memberi isyarat agar mereka menepi. Dan mereka patuh. Yang  didapatinya adalah Dasa Laksana yang tubuhnya amat kotor dengan pakaian hitam compang - camping. Begitu Dasa Laksana melihat kehadiran Ki Pita Loka, dia langsung menyeruduk ke kaki dan mencium jari-jari kakinya seraya berkata: “Ampuni saya, Guru. Saya ke sini sekedar lewat. Dan ingin memberitahukan, bahwa Ki Ratu Turki akan menyerang desa ini secara mengerikan!”
“Siapa dia?” “Anda lebih tahu, Guru!” “Jika anda bertemu dengan dia, pesankan padanya agar dia membatalkan maksudnya sebelum dirinya celaka”, wajah Pita Loka berubah menjadi penuh wibawa karena dipenuhi perasaan sabar yang berjuta. “Dia akan merebut Kitab Tujuh itu”, kata Dasa Laksana lagi. “KITAB TUJUH?” Pita Loka terheran. “Hanya anda yang mengetahuinya. Tapi juga Ki Ratu Turki?”. “Baik. Kalau demikian, kamu akan meninggalkan Kumayan. Silahkan berangkat”. “Tapi saya memohon sesuatu”, kata Dasa Laksana. “Mohonlah pada Tuhan. Jangan pada saya. Saya manusia biasa”, ujar Pita Loka. Ucapannya ini disambut orang-orang dengan dengung suara kagum. Mereka kagum. orang yang mereka kenal sakti, hanya mengaku manusia biasa. Namun telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa dia begitu dihormati, bahkan oleh Ki Lading Ganda yang terkenal sombong itu, yang bertindak jadi pengawalnya malah. Sementara itu, bagai seorang sinting yang jadi tontonan rakyat. Dasa Laksana mengunyah tebu dan pamitan lagi. Secara menyembah di duli kaki Pita Loka. Dia kemudian berlalu diiringi anak-anak dan orang dewasa. Ternyata dia belum meninggalkan Kumayan. Sebab dia pergi ke Bukit Kumayan yang terdiri dari batu-batuan menyan yang memancarkan bau harum menusuk hidung. Batu-batuan menyan itu memancarkan sinar oleh kerlipan pecahan sudut-sudutnya. Beberapa orang mulai meninggalkan dia. Tapi malam itu muncullah Ki Lading Ganda yang menggertaknya: “Hai, bukankah kau mesti pergi dari sini?” Mendengar bentakan Ki Lading Ganda itu, mendadak Dasa Laksana berdiri dengan berkelebat. Dia tampak siap tempur. Keadaannya yang tampak lemah bagai orang sinting, berubah gagah perkasa. “Jangan gertak aku dengan suara bentakmu. Kalau memang aku bersalah, tampilkan golokmu yang terkenal dengan sebutan Lading Ganda itu!” tantang Dasa Laksana. Tapi Ki Lading Ganda menjadi waspada. Dia tak segera naik pitam sebagaimana biasanya. Dia lalu meyakini dirinya, bahwa antara pengembara tak dikenalnya ini, ada hubungan perguruan dengan Ki Pita Loka. Padahal dia sudah menaruh hormat pada Ki Pita Loka. “Saudara Dasa Laksana. Saya heran mengapa anda belum juga meninggalkan Kumayan?” “Karena saya kecewa dengan Sang Guru. Desa ini akan hancur”, katanya.
“Berikan padaku keterangan kehebatan Ki Ratu Turki”.
“Dia memiliki pedang. tapi lebih dari itu dia dia dikawal oleh seorang lelaki dengan ilmu yang amat tinggi”.
“Tahu anda siapa lelaki itu?” tanya Ki Lading Ganda.
“Ki Gumara”.
“Ki Gumara? Jadi dia meninggalkan Kumayan ini untuk bersekutu dengan Ki Ratu Turki itu?”
“Ya. Dua orang inilah yang akan membantai guru saya yang terhormat, sehingga saya harus melaporkannya. Saya sendiri orang hina dina”, kata pengembara kotor menjijikkan itu. “Apa tujuannya menghancurkan desa kami ini?”
“Dia hanya ingin memiliki Kitab Tujuh, yang katanya disimpan oleh Ki Pita Loka. Kalau kitab itu tidak diserahkan, dua-duanya akan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap 5 harimau Kumayan tanpa ampunan”.
“Kalau begitu, anda utusan mereka!” tuduh Ki LadingGanda.
“Saya bukan utusan. Jika saya gagal mendapatkan Kitab Tujuh itu, saya akan dipenggal. Saya hanya orang hina yang terancam. Maka saya tidak berani kembali. Tapi jika dalam 7 hari saya tidak kembali, penyerbuan itu akan terjadi”.
Ki Lading Ganda lantas berubah sikap. Dia pun merasa ingin memiliki Kitab Tujuh itu.
“Kalau begitu, jika anda masih di Kumayan ini selama 7 hari berikut ini, anda akan jadi biangkeladi bagi kami. Secara baik-baik, seperti juga gurumu Ki Pita Loka menyarankan, sebaiknya engkau pergi tinggalkan Kumayan ini”.
“Tidak”, bantah pengembara kotor itu. “Kalau begitu anda membangkang atas perintah salah satu penguasa desa ini. Kamu sudah kenal pada saya. Dan apa senjata saya. Hanya karena kamu bekas murid Ki Pita Loka sajalah maka saya tak sudi melakukan kekerasan”.
“Silahkan main keras pada saya”, tantang Dasa Laksana. “Jangan kau panasi hatiku, wahai tamu tak dikenal. Kuulangi perintahku yang tulus, agar anda meninggalkan Kumayan ini sebelum golokku aku cabut!” “Silahkan cabut!” tantang Dasa Laksana. Dalam sekelebatan. Ki Lading Ganda mencabut goloknya yang bermata dua. Dia permainkan senjata saktinya untuk menakut-nakuti lawannya. Kejadian ini disaksikan dari tempat gelap oleh Pita Loka. Ketika pertempuran itu barusan saja akan segera dimulai. Ki Lading Ganda yang sudah melakukan loncatan pancingan, menghunjam langkah berbalik mendengar teriakan dari tempat kelam. “Hentikan, Ki Lading!” seru Pita Loka. Wibawa langkah-langkah kependekarannya segera tampil. Pita Loka membuat Dasa Laksana surut, begitu pun Ki Lading Ganda. “Tuan Guru”, ujarnya pada Ki Lading Ganda.
“Anda tak usah melayani seorang yang ilmunya rendah dan berjiwa laknat. Dia cukup diperlakukan ibarat seekor lalat”. “Guru Besar” Dasa Laksana segera menyungkur diri ke duli jari kaki Pita Loka dan dengan nada berhiba-hiba dia berkata: “Ampuni segala kesalahan saya yang lalu, semasa berguru pada anda. Saya harap, sekarang ini janganlah saya diperlakukan sebagai pengkhianat. Saya ingin bermukim di Kumayan ini hanya untuk mencari keselamatan diri saya dari ancaman Ki Ratu Turki dan pengawalnya Ki Gumara”. “Omong kosong. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup aku tak percaya lagi padamu, Dasa Laksana! Kamu adalah korban laknat binatang-binatang rimba yang pernah engkau bunuh. Percayalah, matimu nanti pun tidak lebih dari matinya seekor binatang yang pernah kau bunuh. Ayo angkat kaki dari desa kami yang telah aman tenteram ini!” bentak Pita Loka dengan nada suara gemuruh. Tentu saja Ki Lading Ganda terkejut atas sikap tegas Ki Pita Loka. Terutama tuduhan blak-blakan pada diri pengembara aneh yang hampir saja dihajarnya. Dan dia lebih takjub lagi ketika melihat pengembara sinting itu segera enyah meninggalkan Bukit Kumayan. Ki Lading Ganda melangkah sopan menghampiri Ki Pita Loka. Lalu bertanya sepertinya seorang murid bertanya pada sang guru: “Ki Guru, apa artinya ini semua?” “Mestinya tuan sudah maklum. Ingat kembali yang tadi diucapkan Dasa Laksana? Saya mendengarkannya di balik semak, sejak tuan guru muncul menemuinya lalu mendengarkan apa ocehannya. Semuanya itu tidak usah dipercayai. Dia hanya datang untuk mengacau perasaan kita semua”. “Tapi Ki Guru Pita Loka”, ujar Ki Lading Ganda mendekat lagi, “Saya rasa ada benarnya jika dia katakan, bahwa Ki Gumara melibatkan diri dengan Ki Ratu Turki”.
Ki Pita Loka terdiam sesaat. Kemudian dia berkata:
“Anda seorang tua. Anda tak usah risau dan kuatir apa yang diperbuat anak-anakmuda. Seorang pendekar dihormati dan pantas dikuatirkan apabila ilmunya tinggi, dan sementara itu usianya dan pengalamannya besar”.
“Maksud tuan guru muda . . . saya tak usah merisaukan berita mengenai Ki Gumara?”
“Pendeknya, dia bukan seperti yang anda duga, Guru Tua”, ujar Pita Loka lalu memberi tanda pamit dengan kedua telapak tangan bersungkem ke arah Ki Lading Ganda. Ki Lading Ganda pulang dengan pikiran kacau. Tetapi, Pita Loka pun mulai jadi bimbang. Ayahnya mengetuk pintu kamarnya. Setelah masuk, dia bertanya: “Di mana-mana warung yang aku kunjungi, malam ini ada kesan penduduk semakin resah. Apa yang diucapkan pengembara fakir itu, kelihatannya mempengaruhi rakyat. Apa pendapatmu?”
“Saya tak punya pendapat”, kata Ki Pita Loka.
“Itu tak baik. Kau lebih mengetahui dari kami. Tapi kau berlagak tenang. Ceritakanlah pada ayahmu, apa sebenarnya yang akan terjadi? Kenapa Kitab Tujuh itu dicari-cari dan bakal menimbulkan bencana?”
Ki Putih Kelabu menjadi geram karena Pita Loka hanya membungkam. Malah dia lebih jengkel ketika Pita Loka berkata: “Saya malam ini belajar. Karena besok akan ujian ekstension “ “Baiklah. Itulah perbedaan ilmuwan dengan pendekar. Ilmuwan sibuk meramu jamu, kendati dunia sekeliling kebakaran dia akan terus meramu jamu. Tapi seorang pendekar akan melempar gelas jamu bila teriadi kehebohan”, kata Ki Putih Kelabu dengan nada mendongkol. Sebenarnya orangtua itu sedang memancing sikap Pita Loka. Dia menganggap, Pita Loka berubah sikap untuk menjadi pelajar sekolah SMA hanyalah untuk menutupi ilmu yang telah dia petik selama 1000 hari dari Bukit Lebah. Yang dia inginkan dari Pita Loka adalah reaksi. Tapi Pita Loka kelihatan tidak perduli. Dia juga tidak perduli ketika bergerombol anak-anak muda yang ikut ujian ekstension SMA menanyakan isyu terancamnya desa Kumayan.
“Itu pekerjaan para pendekar. Kita bukan pendekar. Kita calon pelajar. Pelajar SMA. Buat apa kita sibuk - sibuk. Kita tunggu saja bel ujian berbunyi, lalu siapkan diri untuk menjawab soal-soal”. kata Pita Loka. Ketika bel ujian berbunyi, Pita Loka memasuki lokal untuk ujian. Seluruh calon murid SMA yang mendaftar ada 14 orang, termasuk Pita Loka. Ujian ini diberikan kesempatan oleh Kakanwil untuk mengurangi banyaknya anak-anak muda liar yang suka bergerombol. Tapi Pita Loka tidak sedikit pun memperlihatkan tanda-tanda berpura-pura. Dia tak menunjukkan tanda kependekaran sedikit pun kecuali saat dia mengusir lebah-lebah dulu dan apa yang dia perbuat semalam, sewaktu mengusir Dasa Laksana. Tetapi menjelang bel ujian hari itu berbunyi, seorang penduduk minta ijin pada pengawas ujian untuk menemui Pita Loka. Pita Loka menyelesaikan dua soal lagi, baru kemudian menemui Pak Tenong itu. Dia bertanya:
“Ada apa menemui saya, Pak?”
“Anakku Daim diculik! Apakah bisa membantu?” tanya Pak Tenong.
“Jangan minta bantuan saya. Saya hanya manusia biasa,Pak. Mintalah bantuan Ki Lading Ganda”.
“Dia menyuruh saya ke sini, Ki Pita Loka. Dia katakan, inilah awal dari serangan nyata yang akan dibuktikan Ki Ratu Turki. Anak Rekasa juga diculik. Ada tujuh anak remaja di sini kena culik.”
““Tapi saya lima hari ini menghadapi ujian, Pak. Tak mungkin saya dapat membantu. Maafkan saya”, kata Ki Pita Loka. Orang yang tertimpa musibah itu menangis meratap, berlutut di hadapan Pita Loka. Tapi Pita Loka hanya berkata: “Jangan jadikan saya ini dewa. Sungguh mati , saya tak punya daya kekuatan apa-apa”.
Tapi, hati Pita Loka betul-betul tergugah setelah pada malam harinya muncul Paman Kurukjahi. Dia membawa sepotong tangan buntung dan berkata: “Wahai pendekar muda, apa perasaanmu satelah melihat sepotong tangan ini?”. Tampak darah membersit di wajah Pita Loka, seakan –akan dia tak dapat menahan amarahnya. Tangan itu begitu dia kenal, tangan saudara sepupunya yang paling pandai bermain gitar dan kecapi.
“Karena cincin yang kukenal masih ada di jari tangan ini, aku tahu ini tangan sepupuku Agung Kifli. Di mana tangan ini paman temukan?” tanya Pita Loka dengan mata tak berkejap. Kurujakhi bertanya pula; “Apa perlu kusebutkan tempatnya? Mana yang penting, tangan anakku atau orang yang memotongnya?”
“Kalau begitu saya ditantang”, kata Pita Loka.
“Bukankah sejak beberapa hari ini kau ditantang? Rakyat sudah cemas sejak tersebarnya berita, bahwa bumi Kumayan akan dihancurkan oleh Ki Ratu Turki. Dan aku dengar dia pun bekerja sama dengan anak Ki Karat dari istrinya yang lain, seorang guru yang pernah dihormati !.
Di mana anda berdiri dalam ancaman ini?”
“Saya berdiri di bumi kelahiranku, Paman!”
“Nah, bangkitlah! Ajaklah semua harimau-harimau Kumayan ini, termasuk ayahmu, untuk menyerang musuh terlebih dahulu sebelum kita ditakut-takutinya dengan penculikan dan potong tangan! “ Pita Loka diam.  “Jadi paman menganggap Pedang Turki yang memotong tangan sepupuku?” tanya Pita Loka dengan tatapan mata menantang.
“Ya! Bahkan aku tahu di mana bajingan – bajingan itu bermukim!”
“Paman salah”, kata Pita Loka. “Saya berani menjamin, pedang Turki tidak melakukan pemotongan sekasar ini. Tangan ini ditebas oleh golok yang kasar, ini perbuatan adu domba, supaya kita mendapat kesan bahwa Ki Ralu Turki maupun Guru Gumara adalah pendekar-pendekar kejam. Tidak. Aku tidak percaya bahwa penculikan maupun kekejaman begini dilakukan oleh pendekar kelas satu. Ini kerja pendekar kelas kambing!”
Dan tanpa diduga sedikit pun Pita Loka seakan–akan menjelma menjadi seorang cekatan dengan dua langkah lompatan langsung melocat ke halaman. Pita Loka tidak bersenjata. Dengan tangan kosong seakan - akan dia menjadi angin limbubu yang kecepatan larinya sudah tak dapat dilihat oleh mata lagi. Dan orang tak sempat mengetahui, bahwa dia sudah berlompatan dari dahan ke dahan begitu lincahnya melebihi lincahnya seekor simpai hutan. Dan ketika dia tiba di perbatasan desa Kumayan, menghadap ke Bukit Anggun dia terhenti sejenak. Dia melihat di situ asap api. Pertanda di situ ada sebuah perkampungan. Dia tiba-tiba yakin, bahwa dia harus kesana! Dia yakin, orang yang dia cari pasti ada di desa Anggun. Desa ini tempat pelarian penjahat kotor, bajingan tengik, dan para pendekar yang gagal mengguru karena ingin cepat pandai. Dia tak ingin muncul di desa Anggun ketika hari sudah terang. Dia ingin menyergap musuh yang dicurigainya justru menjelang datangnya pagi hari. Desa Anggun sekelilingnya dipagari oleh belahan bambu, dan dibuat pula selokan –selokan penjebak. Begitu dia memasuki pintu gerbang desa, Pita Loka menyepak pagar itu dengan obrak- abrik bagai orang kesetanan. Beberapa pohon dia terjang hingga roboh. Dan anjing penjaga yang menyeruduk padanya dia terjang dengan tendangan yang mengerikan, anj ing itu bagai terlempar terbang ke bubungan rumah. Dan seluruh desa terbangun. “Aku. Pita Loka dari desa Kumayan, menuntut nyawa satu orang biadab yang sedang aku cari!”
teriak Pita Loka dengan berkacak pinggang. Kebenciannya sudah seleher, tinggal muntah saja lagi . Di sini tak ada kepala desa. Yang ada orang pemberani yang paling banyak membunuh dan paling jahat dan dia diberi gelar Tua Anggun. Nah, Pita Loka dengan sikap agak sabar melihat munculnya Tua Anggun. “Siapa yang tuan cari?” tanya Tua Anggun.
“Kuharap, sebelum matahari terbit, serahkan nyawa dan badan Dasa Laksana. Hidup atau mati,
serahkan 17 remaja yang dia culik dan potong tangannya, termasuk sepupu saya Agung Kifli!”
Suara teriak Ki Pita Loka cukup menggentarkan perasaan Raja Penjahat itu. Dia berkata: “Aku kenal nama tuan guru dari si busuk yang berlindung di sini itu. Kami menamakan dia itu Si Busuk. Diakah yang tuan muda inginkan?”
“Ya. Dia Hidup atau mati!” bentak Pita Loka. Dan dalam sekelebatan Tua Anggun sudah menyeret Dasa Laksana, ketika dia terkulai sehabis semalam suntuk berbuat homoseksual dengan pemuda yang dia culik. Ada tiga yang di potong tangannya karena menolak sanggama itu. Dengan sangat penasaran, begitu Dasa Laksana diserahkan ke hadapan Pita Loka, maka Ki Pita Loka ngamuk dengan tiada belas kasihan. Ketika kepala Dasa menelangsa menghatur sembah. Jari-jari tangan yang menghatur sembah itu disikatnya dengan sabetan sepakan dahsyat.... Dasa Laksana menjerit kesakitan. Dan dia merangkak lagi, menghatur sembah lagi. Ki Pita Loka menyabet lagi dengan sepakan hingga Dasa Laksana melintir, berguling-guling dengan menjerit. Tapi Dasa Laksana nelangsa lagi dengan merangkak. Kali inilah Ki Pita Loka tidak bisa menahan amarahnya. Diangkatnya tubuh Dasa Laksana yang sedang merangkak itu, lalu dia lemparkan kepagar-pagar bambu yang jadi pembatas desa Anggun itu. Pagar itu ambruk, dan tubuh Dasa Laksana terlempar. Seluruh penduduk yang terdiri dari keluarga bajingan - bajingan perampok penyamun pun pada berkeluaran. Tapi Dasa Laksana bagai orang mabuk terhuyung menghampiri Ki Pita Loka lagi. Dia merangkak dan menghatur sembahnya lagi. Matanya melihat pada penduduk,biang kejahatan itu dengan mohon dikasihani. Tapi Ki Pita Loka, tanpa kasihan menyergapnya dengan kedua tangan, mengangkatnya, lalu melemparnya bagai melempar karung basah. Tubuh Dasa menghajar penduduk dan mereka berteriak secara serentak:”Bunuh pendekar sinting itu!”
Saudara sepupu Ki Pita Loka yang bertangan buntung - Agung Kifli - lalu menyergap Pita Loka:
“Ayoh lari, sanak!” “Tidak!”, ujar Ki Pita Loka dengan menebah dada dan berseru kepada penduduk Anggun: “Ayoh siapa yang siap mau membunuh pendekar sinting, mari serahkan nyawa kalian!”
Dalam keadaan mereka ragu, dengan satu putaran gasing gila. Ki Pita Loka menyeruduk dengan melakukan tendangan putaran bertubi-tubi ke arah muka, tanpa pilih bulu, sehingga mereka ambruk satu demi satu. Sungguh suatu perkelahian tunggal yang teramat seru, satu pendekar lawan 40 orang keluarga penjahat. Diantara mereka ada yang pingsan. Bahkan ada yang langsung mati konyol apabila sabetan tendangan lingkar itu tepat mengenai jantung... “Kalian sudah puas dengan kejahatan. Jadi harus dijahati juga,” ujar Ki Pita Loka seraya menyeret tangan kanan Agung Kifli dan berkata lagi: “Ayoh saudara sepupuku kita kembali ke Desa Kumayan. Bawa semua temanmu yang kena culik!”
Tapi secara naluriah, ketika pergulatan sengit Pita Loka menghancurkan penduduk jahat ini, ketujuh belas anak-anak remaja yang telah diculik Dasa Laksana itu telah menyisih ke balik pagar. Sehingga dengan amat mudah mereka digiring ke luar desa Anggun, desa Perampokan itu, mengikuti langkah Ki Pita Loka. Biarpun dirasakan oleh Ki Pita Loka langkahnya biasa, namun bagi ke 17 anak-anak remaja yang malang itu dirasakannya langkah itu amat gesit sekali. Tapi mereka tiada mengeluh dan cengeng. Mereka malah mengira, bahwa Dasa Laksana kelak akan menguntit mereka dan belakang. Semalam suntuk rombongan itu berlalu meninggalkan desa celaka itu. Semua mereka sudah buntung tangan kanannya, digolok oleh Dasa Laksana. Semua mereka justru dikorbankan untuk mempertakuti hati penduduk Desa Kumayan. Dengan dongengnya di gardu peronda di desa Kumayan tempo hari, Dasa Laksana akan memberikan kesan, bahwa ke17 anak remaja yang ia culik dan potong tangannya adalah korban dan pemilik Pedang Ratu Turki. Lalu, cahaya matahari muncul dari Bukit Kerambil. Bukit ini bukit bagian barat dari gugusan bukit-bukit barisan. Diantara anak-anak remaja itu kelihatan ada yang tak kuat lagi berjalan karena tanpa henti berjalan terus sejak diselamatkan Ki Pita Loka. Ada tiga orang yang jatuh pingsan. Ki Pita Loka memperhatikan, siapa yang paling sigap membantu yang pingsan-pingsan itu. Dan dia senang karena diantara yang membantu itu ada saudara sepupunya, Agung Kifli. Ada sepuluh orang semuanya yang pingsan. Dan penolongnya tetap saja, yaitu Agung Kifli dan lima lainnya. Enam orang itu, menurut ruguhan batin Ki Pita Loka, adalah remaja - remaja yang berhati suci. Dia biarkan saja enam anak baik itu berusaha menyadarkan sepuluh anak yang pingsan itu. Diantara yang barusan sadar, cengeng meronta dan berkata: “Kembalikan kami ke Kumayan.” “Kembalikan”, kami ke rumah,” kata yang lain. Seluruhnya sudah sepuluh orang.”
“Siapa diantara kalian yang ingin kembali?”
Satu dua tiga sampai sepuluh. Tapi ada seorang, yang tampaknya bimbang. Dialah yang dipanggil oleh Ki Pita Loka sewaktu matahari telah terbit benderang. Anak itu berusia sekitar 16 tahun. Tegap tapi sikapnya ragu. Tapi dia punya kelebihan dari sepuluh yang lainnya. Lalu, tampil pula anak yang ke 12. Dia tampil dan memperkenalkan dirinya:
“Kakak barangkali tak kenal saya. Saya Rauf, teman Jadim.”
“Jadi kau yang bernama Jadim?” tanya Ki Pita Loka kepada yang peragu.
“Ya. Kak,”
“Jadim dan Rauf akan memimpin rombongan 10 orang ini ke Kumayan.”
“Kami tidak tahu jalan, kak,” kata Rauf.
“Jangan kuatir. Saya akan menolong kalian,” ujar Ki Pita Loka seraya meraih kepala Jadim dan Rauf. Pita Loka meniup ubun kepala anak-anak yang berdua itu setelah memohon dari Tuhan. “Perhatikan telunjuk tanganku,” kata Pita Loka. Dua anak itu memperhatikan telunjuk Pita Loka. Juga 10 anak lainnya. Dan ketika itu Pita Loka berkata: “Tembus hutan ini, tanpa merubah arah jalan terus turun naik bukit dan lembah. Supaya jangan lelah, sembari bernyanyi.”
Anak-anak itu tampak dibangkitkan rasa keberaniannya. Mereka mulai bernyanyi lagu Pramuka, dipimpin oleh Jadim dan Rauf. Makin lama lambaian tangan mereka disertai nyanyian mereka semakin bertambah jauh Setelah mereka menghilang, enam remaja yang tak ikut pulang ke Kumayan serentak menghadapkan mukanya pada Ki Pita Loka. Tentu yang terlebih dahulu bertanya adalah saudara sepupu Pita Loka. Agung Kifii bertanya: “Bisakah kami ini kau isi dengan ilmu?”
“Ilmu apa?” tanya Ki Pita Loka.
“Ilmu yang berisi keberanian kami untuk membalaskan dendam pada Dasa Laksana setan gila itu!”
Ki Pita Loka tertawa: “Permintaanmu terlalu rendah.”
“Lihatlah tangan kiriku ini, tidak ada gunanya lagi dan tidak bisa dipakai untuk menekan senar gitar maupun kecapi!” kata Agung Kifli.
“Maka tadi saya pilih yang kembali, dan yang akan ikut dengan saya. Firasatmu betul bahwa kalian akan kuajak ngelmu. Manusia semua sama, sebab Tuhan adil. Tapi yang berilmu lebih tinggi dari yang malas.” kata Pita Loka. “Saya minta dijelaskan kenapa ilmu yang diminta Agung Kifli tadi bernilai rendah.” ujar si kurus kecil yang bernama Caruk Putih. “Kerendahan satu ilmu bisa dilihat dari tujuannya,” kata Ki Pita Loka. “Bukankah tujuan membalaskan dendam itu juga baik?”tanya Caruk dengan nada penasaran. Balas dendam selalu bernilai rendah. Tapi jika kalian ngelmu untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan yang benar, itulah ilmu yang tinggi. Untuk itu kalian merupakan orang-orang pilihanku.”
“Termasuk saya?” tanya seorang remaja bernama Aria.
“Termasuk kamu. Aria, juga Sura, juga Abang Ijo dan Talago Biru. Pendeknya kalian harus mengucapkan ikrar padaku.” kata Pita Loka.
Lalu mereka pun mengangkat ikrar. Mereka ikuti apa yang diucapkan Ki Pita Loka, tanpa nada sumbang. Ikrar itu bergema dengan nada yang hampir-hampir tunggal, membangkitkan kesatuan semangat dan kesatuan tujuan. Kesatuan yang manunggal antara Guru dan murid dalam kata dan perbuatan memanglah persyaratan ilmu persilatan. Dan Ki Pita Loka mendapatkan cara membimbing ilmu pada muridnya ini karena ia seorang yang jiwanya ikhlas, disamping oleh otak yang cerdas. Otak yang cerdas tapi jiwa kotor tak memungkinkan seorang pendekar naik derajat menjadi Guru Besar. Ukuran kebesaran adalah energi. Maka Pita Loka memulainya pun dengan takaran energi. sedikit bicara, tapi tiap patah kata ada ikatan. Dan hanya orang yang mampu duduk bersila dengan baik, seluruh energi terkendali. Ki pita Loka duduk bersila. Enam muridnya pun duduk bersila. Ki Pita Loka memberi perintah dengan nada dalam: “Hening.......”
Keadaan pun hening, seakan tiap napas yang ditarik dan dihembus kedengaran begitu nyata. Karena napas adalah sumber energi dalam diri manusia, itulah pula yang mesti diatur. “Tarik napas ke puser perutmu,” perintah Sang Guru. “Angkat perlahan ke atas menuju kepala, dan salurkan menuju ubun-ubunmu, dan buanglah kesana”, perintah Sang Guru lagi.
“Ambil lagi napas, tarik ke puser, angkat ke atas, dan buang!”
“Ambil lagi. Tarik ke bawah. Angkat ke atas. Dan buang lagi.”
Pelajaran awal itu, yang hanya bermain napas dengan kedudukan bersila tanpa gerak. yang dilakukan seluruhnya detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, menciptakan keasyikan pada Sang Guru dan Para Murid. Dapat dibayangkan setelah enam jam bermain napas saja, keringat mereka mengocor seperti kuli mengangkut satu balok pohon yang besar. Keasyikan tidak pernah merangsang lapar. Yang dibuang oleh energi adalah keringat. Dan keringat itu adalah sampah. Inilah awal pembersihan diri, sebab Ki Pita Loka ingin membuat enam anak buntung ini menjadi enam pendekar sejati. Pendekar sejati bisa saja menghadapi empat puluh musuh. Dan dia seorang diri dengan kekuatan energi dapat saja menumpas 40 lawan tanpa mengeluarkan keringat setetespun. Itulah yang sedang diisinya kepada enam remaja buntung itu. Kelak mereka tidak harus merasa kurang karena kebuntungannya. Sebab setiap yang kurang pasti ada kelebihan di bidang lain. Dan telah dua kali matahari terbit dan dua kali pula matahari terbenam. Tahukah enam remaja buntung itu bahwa waktu telah berjalan dua hari?
Tidak. Waktu bukan soal yang penting lagi. Keasyikan menyatukan diri dengan energi telah membuat seseorang yang asyik itu tidak lagi memperhitungkan waktu. Dan telah tiga hari Guru mengajarkan muridnya dalam keasyikan bersatu dalam gerak nafas, gerak yang tanpa gerak. Dan kemanakah nafas yang telah tiga hari diasyikkan itu menuju? Nafas itu mengembara menuju tempat yang kosong. Dan kosong itu adalah diam dan hening. Maka jarak perginya pun tanpa takaran lagi. Hembusan nafas tadi singgah di tempat yang kosong. Singgahnya nafas tujuh manusia asyik dari lembah itu menggebu bagai geledek, dan terciptalah benturan. Yang terbentur adalah yang diam. Yang diam pada detik itu adalah seorang lelaki yang duduk hening tenang, yang mendadak terkejut karena terkena benturan. Matanya melotot kaget lelaki itu menatap gadis di depannya, dan gadis itu bertanya: “Kak Gumara, apa yang terjadi?” “Ada sesuatu yang sedang bergerak di luar kita,” ujar Gumara. Jawaban ini merisaukan gadis itu. Dan rupanya yang terkena benturan bukan saja manusia Gumara. Binatang pun terkejut. Beberapa ekor ular Piransa gelisah dari sarangnya, lalu serentak merayap ke luar dari lubangnya. Gumara semakin merasakan benturan ke tubuhnya yang semakin hebat sehingga ia tambah gelisah, ia terkejut mendengar gadis di hadapannya terpekik menjerit lantang seraya menghunus pedang. Hampir saja pedang di tangan gadis itu membabat 100 ekor ular kecil yang merayap ke arahnya. “Aku Ki Harwati!” teriaknya ke arah ular-ular itu. Satu diantara 100 ular itu merayap sendirian, sementara yang lainnya diam. Ular kecil itu merayap menuju dengkul Ki Harwati, menuju perutnya, lalu ke dada, lalu melintasi leher dan akhirnya ke kepala. Tepat di kening Ki Harwati, ular kecil belang kuning itu menciptakan belitan. Kini ular itu bagai selembar saputangan tergulung yang melingkari kepala Ki Harwati. “Lihat, Kak Gumara? Ini hasil pertapaan saya!” serunya.
““Belum tentu. Tiap senjata yang berada di diri seorang pendekar mengandung resiko. Pendekar harus memeliharanya. dan harus tahu dengan jitu menggunakannya,” kata Gumara.
“Ular piransa ini menjadi senjataku. Sesuai dengan wangsit yang aku terima, bahwa namaku harus dirubah menjadi Ki Harwati Piransa. Dan aku kini telah berkedudukan sebagai Guru Besar! Kau kini bukan lagi kakakku dan pelindungku! Kau kini jadi budakku!” mata Ki Harwati Pi ransa melotot tanpa berkedip menatap Gumara. Gumara merasa aneh menyaksikan tingkah Ki Harwati. Ketika keanehan itu dia renungi, kendati beberapa detik, meledaklah perasaan berontak dalam diri Ki Gumara, sehingga dia berteriak: “Kau memakai ilmu Sesat! Kau sesat, kau sesat, kau sesattttttt” Tapi energi teriakannya itu sudah melampaui takaran. Setelah itu dia lemah, dan semakin lemah Setelah itu Gumara tidak dapat merenung, kendati sedetik. Juga dia tak berdaya menggerakkan anggota tubuhnya, biarpun sedetik saja.
“Tugasmu sekarang adalah mengawalku. Kau budakku. Kau harus patuh terhadap semua perintahku. Aku Guru Besarmu, aku Guru Besar semua gurul”
Nada itu penuh. Dan penuh kebanggaan.
“Kita hanrus memilih waktu untuk berangkat,” kata Ki Harwati.
“Ya....!”
“Kita harus menyerang musuh!” “Ya ......!”
“Kau kini semut pekerja. Dan akulah Ratumu!” ““Ya. Apa yang harus saya perbuat?” tanya Gumara dengan muka dungu. “Karena kelebihanmu mentakwilkan mimpi, carilah sebuah mimpi!” kata Ki Harwati. Dan dengan kedungu-dunguan, Gumara mematuhi. Dia menggeletak, lalu tidur. Dan tidurnya itu mirip seperti menggeletaknya seekor ular sanca. Ki Harwati tegang memperhatikan kelelapan tidur saudara tirinya itu. Kemudian tubuh Gumara bergerak, menggeleong, dan tegang sekali Ki Harwati bertanya: “Kamu dapatkan mimpi, hei dungu?!”
“Tidak.”
Pedang Raja Turki dalam sekelebatan sudah dicabut dari sarangnya. Dan dengan kesetanan pedang itu dihantamkan ke kening Gumara, sekalipun bukan dengan mata tajamnya. Punggung pedang itu membentur nyaring di kepala Gumara, ibarat logam membentur batu padas sehingga tercipta suara nyaring. “Dungu!” bentak Ki Harwati lagi. “Aku lapar,”kata Gumara. “Tidak ada makanan di sini”, jawab Ki Harwati. “Beri aku makanan,” ujar Gumara dengan mulut kemudian melongok. Dia tampak begitu dongok. Lalu berbaring lagi, bagai berbaringnya ular yang kekenyangan yang amat malas. “Kau hanya menjadi bebanku,” ujar Harwati. Tiba-tiba kepala Ki Karwati pusing. Dia telah dipatuk oleh ular Piransa pada saat sedetik menjelang pusing. Bisa ular itu sudah menjalari tubuhnya. Tapi ia masih menyadari, mungkin ha ini bagian dari pengisian tingkatan ilmunya. Dia mencoba berdiri. Dia teler bagai pemabuk. Dan secara samar dia melihat lengkungan pelangi di hadapannya. Lalu dia melihat tujuh bintang berjatuhan dari langit. Dan dia berseru: “Tujuh tai bintang jatuh di Sana! Itulah seluruh kebenaran wangsit yang kuterima. Aku yang akan menerima warisan ilmu Kitab Tujuh itu!” Dia guncang tubuh Gumara. Tapi Gumara tidur ngorok seperti tidurnya orang dongok. “Bangsat! Bangsat!” maki Ki Harwati, “Dasa Laksana bangsat! Murid pengkhianat itu belum juga kembali! Padahal aku sudah menyaksikan tujuh tai bintang jatuh!”
Dia petengtengan. Dia berjalan terhuyung bagai orang sinting. Dan kalau dia melihat Gumara, dia benci dan ditendangnya pantat kakak tirinya itu. Kemudian dia merasa amat gerah. Karena kepalanya gatal, dia merenggut rambut di kepalanya, tapi yang terpegang adalah ular yang melingkari kepalanya. Sementara itu, Ki Pita Loka sudah melangkah bersama enam muridnya menuju sebuah bukit yang dikenal bernama Bukit Kawung. Tidak ada kawung di bukit itu. Yang ada cuma batu. Batu itu sebetulnya dulu sering diambil orang sebesar biji salak karena keistimewaannya. Kalau kapas kawung ditempelkan ke batu kawung itu, lalu digeserkan logam baja, maka terciptaiah api. Untuk apa Ki Pita Loka ke sini? Karena ia mendapat ilham untuk meningkatkan latihan jasmani murid-muridnya. Karena semua ilmu ibarat roda. Ia kembali kepada sumbunya. “Kita berhenti di pusat bukit ini,” kata Ki Pita Loka. Enam remaja buntung kontan saja duduk bersila, menciptakan lingkaran dan sumbu lingkaran itu adalah duduknya sang Guru. “Karena semua kalian pernah sekolah, kalian sudah tahu apa itu gas. Gas itu adalah zat yang memiliki energi. Dalam diri kalian, dengan aturan pernafasan, sudah ada sumber gas. Dan itu harus kila turunkan ke titik awal. Kita harus kembali lagi menjadi api. Coba kini kalian kumpulkan energi, sampai tubuh merasa ringan. Tapi jangan ada yang kaget apabila tubuh kalian terbakar.” Enam remaja buntung dipimpin Guru, sedang melaksanakan amalan itu. Mereka menjadi iibaratnya kawung yang sedang berada di batu, menciptakan pergeseran logam baja. Dan terbitlah tujuh kelompok api. Ya, tujuh insan itu lama kelamaan bagai tujuh lidah api. “Dan api akan padam oleh air. Api hanya dapat padam oleh air,” ujar Sang Guru. Sungguh ajaib. Ketika tiap murid sudah merasa dirinya mengelotok oleh api, hujan gerimis pun bercucuran dari langit. Memang perih sekali, tapi hampir tak terasa. Api itu padam. Yang tinggal adalah tujuh manusia, Ki Pita Loka dengan murid-muridnya, enam remaja buntung. “Kini kita sudah membumi. Kita sudah menjadi benda padat, sepadat tanah. Tanah adalah asal manusia. Marilah kita menyatukan diri dengan tanah, seakan-akan kita ini kembali ke dalam kubur, kembali ke asal,” Ujar Ki Pita Loka. Murid yang mematuhi amalan Sang Guru tentulah murid yang baik. Dan remaja-remaja buntung ini merelakan dirinya memasuki alam “kematian”, entah untuk berapa lama. Lama itu waktu. Waktu itu jadi tak penting. Mereka sampai ke sebuah Lembah yang sama sekali belum mereka kenal. Tetapi Pita Loka pernah mendengar tentang lembah ini ketika dia berusia Tujuh tahun dahulu, yang diceritakan oleh Ki Putih Kelabu,ayahnya. Menurut ayahnya. Lembah ini dulunya dikenal dengan sebutan Lembah Tujuh Bidadari.
Agung Kifli bertanya pada Pita Loka: “Ki Pita, apakah perjalanan kita bukan kesasar?”
“O, kita tidak kesasar. Justru aku ke sini sengaja mengajak enam orang diantara kali an yang kena culik, sedangkan yang 11 orang kusuruh pulang ke Kumayan.”
“Lalu untuk apa kita ke sini?” tanya Agung Kifli.
““Yang terang bukan untuk berdarmawisata.”
“Saya dan teman-teman amat lelah,” ujar Agung Kifli.
“Itu wajar saja. Tujuh hari perjalanan tanpa istirahat sebetulnya aku sengaja untuk melatih kalian yang berenam. Kalian yang berenam adalah orang-orang pilihanku. Kalianlah kelak yang akan dikenal dengan sebutan “Enam Pendekar Buntung”.
“Wah, kami akan dijadikan pendekar?” kata Agung Kifli tercengang. “Ya. Setiap kejadian pada diri seseorang ada hikmahnya. Anggaplah oleh kalian bahwa hikmah dipotongnya tangan kalian oleh orang sinting Dasa Laksana itu justru untuk sesuatu yang berguna di kemudian hari.”
“Tapi aku tidak bercita-cita jadi pendekar,”kata Agung Kifli.
“Memang itu betul. Namun aku tidak melarangmu bermain gitar. Sayang, gitar dan kecapimu Tidak ada di sini,” kata Ki Pita Loka.
“Tapi aku dapat membuatnya! Dari buah labu yang dikeringkan,” kata Agung Kifli, “Apakah orang yang belajar ilmu persilatan dilarang main musik?”
“Tidak ada larangan kesenangan pribadi buat suatu ilmu yang tinggi,” kata Ki Pita Loka. Sementara Ki Pita Loka melihat keadaan sekeliling dan menikmati senja yang indah itu, dia melihat memang Agung Kifli dalam keadaan mengantuk. Dan tanpa minta ijin lebih dulu, si buntung bekas pemain gitar dan kecapi di Kumayan itu pun rebah di rumputan bawah pohon dina - dina. Sedangkan lima temannya yang buntung lainnya, sudah sejak tiba menjatuhkan diri di rumputan, di bawah pohonan dina-dina yang daunnya lebat. Dia telah tertidur pulas. Tetapi lebih pulas lagi tidur lima anak remaja lainnya itu. Sura, Abang, Aria, Talago dan Caruk yang bertubuh kecil itu sudah lama tidur ngorok. Dan ketika semua remaja yang bertangan buntung itu dilihat Ki Pita Loka sudah tidur pulas, barulah secara diam - diam Ki Pita Loka meninggalkan mereka. Hal ini karena suatu ilham. Ketika itu Ki Pita Loka sedang menatap langit malam yang biru, dengan sebuah bintang Timur yang tak gemerlap. Bintang itu bintang Venus dengan tenaga cahaya abadi tanpa gigilan sinar seperti bintang lainnya. Lalu dari bintang Venus itu terbentuk semacam corong kerucut berbentuk kelembutan. Hal itu ditafsirkan oleh Ki Pita Loka sebagai petunjuk. Bahwa pada sudut kerucut itu terletak satu tempat yang istimewa di lembah ini. Itu berarti pula, dalam dunia ilmu kedalaman, bahwa Ki Pita Loka mendapat perintah untuk pergi ke tempat itu. Maka dia pun melangkah ke sana . Ya, ada bundaran cahaya dilihatnya pada rumputan yang membentang di hadapan. Pada titik sinar yang terkuat, kesitulah Ki Pita Loka melangkah, lalu dia duduk di sana . Dia bersila di sana bagaikan sikap bersila semua Nabi dan semua Guru dan Kiyahi. Dia mengatur pernafasan dengan sebaik-baik napas, sikap semedi yang kosong namun agung. Kemudian terdengarlah bisikan-bisikan yang indah sewaktu Ki Pita Loka memejamkan matanya.Bisikan-bisikan itu datang dari tujuh penjuru. Lalu tempat kerucut bintang Timur itu pun berubah bertambah terang. Tepat pada waktu itu, tenaga gelombang Ki Pita Loka mencoba menjangkau jiwa sepupunya Agung Kifli. Jiwa yang dengan tenang sedang beristirahat sepertinya mene rima getaran gelombang hingga dia terbangun. Ketika Agung terbangun dari tidurnya, dia mendapatkan dirinya di bawah pohon dina-dina yang berdaun lebat Dilihatnya lima temannya tidur dengan lena. Dia jadi takut karena tidak melihat Ki Pita Loka. Ketakutan itu menyiksa diri. Apalagi indera hidungnya serasa mencium bau bunga. Dan bunga yang menyebarkan bau di sekeliling yaitu seakan – akan bunga yang digunakan pemandi mayat. Dia merinding. Lalu dia duduk. Dia tak berani melihat ke sekitar. Tapi tiba- tiba seperti ada kekuatan yang mengangkat dagunya. Sehingga dia melihat keseliling. Sewaktu dilihatnya ada satu sosok berubah hitam tampak samar mendekat, Agung Kifli saperti akan menjerit memanggil Ki Pita Loka untuk minta bantuan. Ketegangan itu semakin membuat Agung Kifli menggigil. Sosok berjubah hitam itu semakin mendekat dan mendekat jua. Agung Kifli rasanya ingin berteriak. Tapi lidahnya kelu. Dan dia agak geram juga sebab Ki Pita Loka, yang diharapkannya akan memberi pertolongan, tidak tampak. Dalam jarak lima meter itu. Agung Kifli lalu tak berani lagi melihat ke depan. Dongkolnya, dia lihat lima teman-temannya tidur begitu pulas. Dan, Agung pun memberanikan diri untuk bicara. kendati dengan memunggungi tamu tak dikenal itu. “Aku ingin tahu, apakah anda manusia?”
“Bukan.......”
“Bah! Dan ..... siapa anda?” suara Agung menggigil.
“Aku bukan manusia!” sahut sosok yang rasanya (mungkin) makin mendekat.
“Jadi katakan siapa anda?!” suara Agung rasanya keras, padahal cuma sayup kedengaran.
“Aku makhuk halus,” kata suara dari belakang. Agung Kifli lalu memejamkan mata untuk menahan takut.
“Kenapa anda ke sini?” tanya Agung Kifli....
“Ingin berkenalan.”
“Tapi aku takut,” ujar Agung tambah gentar.
“Jangan takut. Aku bukan mahluk halus yang jahat,” suara itu kedengaran lagi, dari belakang punggungnya. Dan rasanya tambah dekat. Agung Kifli semakin memejamkan matanya. Keringat dinginnya semakin deras mengocor. Dan dia gemetar sekali ketika berkata: “Aku bukannya tak sudi untuk berkenalan denganmu. Tapi aku takut. Aku tidak mengalami kejadian seperti ini!”
“Baiklah. Kami tak pernah memaksa?” kata suara itu. “Kami? Jadi kau lebih dari satu,” seru Agung Kifli. “Memang kami semuanya bertujuh.” Ujar suara itu. Agung Kifli lalu ingat nama Lembah ini. Lembah Tujuh Bidadari. Tentu dia mahluk halus, salah satu dari bidadari itu. Rasanya dia ingin membalik tubuh agar dapat melihat salah seorang bidadari Lembah ini, yang ingin berkenalan dengan dia. Tapi rasa inginnya dikalahkan oleh rasa kecutnya. Kini Agung Kifli menutup muka. Hening suasana, tak ada suara dan kata-kata lagi. Mendadak, dalam keadaan senyap begitu, Agung Kifli mendengar suara langkah menjauh. Tentu sosok berjubah hitam tadi telah berlalu. Dia cepat memberanikan diri untuk menoleh. Sayang, sosok tadi sudah melenyap dalam kegelapan.  Tapi Agung amat kaget karena hanya dalam jarak satu meter dari tempat dia duduk ketakutan itu, didapatinya sebuah gitar dan kecapi. Dan karena dia merasa terheran-heran,diberanikannya memegang gitar dan kecapi kecil itu. Tentu kini dengan sebelah tangan saja. Karena tangannya sudah buntung satu, yang kiri. korban dari penipuan Dasa Laksana yang jahat itu. Darimana gitar ini diambil sosok berjubah hitam tadi? tanya Agung Kifli dengan heran, dalam hati. Ketika itulah dia mendengar salah seorang remaja yang ketiduran memanggil namanya: “Hai Agung, kamu mengigau?”
“Kemari sini, Caruk Putih!” ujar Agung gelagapan saking herannya, “Kau lihat gitar ini mendadak ada di sini!”
“Padahal ketika kita diculik, pakaian kita pun tak sempurna,” ujar Caruk Putih. “Ini keajaiban dari ilmu Gaib”. kata Agung Kifli. Lalu terbangun pula Talago Biru. “Talago, apa kau tidak melihat ini!” tanya Agung Kifli. Tapi Talago Biru tidak memberi reaksi. Dia sedang menatap ke satu titik di kejauhan. Namun dia bisa juga melirik pada gitar dan kecapi yang diperagakan oleh Agung Kifli tadi. Aria dan Sura sama terbangun serentak. Mereka malah kaget dan berseru : “Hai, siapa yang membawakan gitarmu?”
“Kurasa salah seorang dari tujuh bidadari di Lembah ini,” kata Agung Kifli. “Keajaiban hanya diperbuat oleh pelaku-pelaku yang ghaib.”
“Kita benar-benar mendapatkan guru sejati,” kata Aria. “Kita mengalami kebuntungan tangan. Tapi kita menemukan kehidupan yang baru,” ujar Abang Ijo. Sebagai anak-anak putus sekolah, enam remaja itu seakan - akan dilimpahi kurnia, berupa hadiah dari Tuhan sehabis disiksa oleh kebiadaban. Kini mereka merasa, bahwa kemalangan, musibah dan penderitaan, tidak selalu berakibat buruk. “Hei, diam!” mendadak Agung Kifli terdongak menatap ke arah Timur. Juga lima remaja bunting lainnya secara serentak menolehkan pandangan ke jurusan yang ditatap Agung Kifli itu. Tiba-tiba Agung Kifli melihat sosok di arah kejauhan. Dia sikut bahu Abang ljo: “Hai, ada kau lihat sosok mendekati kita?” “Mungkin bidadarimu tadi !” kata Abang ljo. “Mainkan gitarmu!” ujar Sura Jingga. “Taklukkan dia!” tambah Aria Kuning. Agung Kifli kemudian menoleh pada Talago Biru. Talago Biru pendiam dingin, tidak sepotongpun melontarkan kegembiraan. “Bicaralah Talago!” ujar Caruk Putih, yang terkecil diantara lima anak remaja yang buntung itu, bahkan yang terlincah. Caruk Putih malahan bangkit dari duduk dan berkata: “Kalau kalian semuanya tidak berani, biar aku yang maju.”
Mendadak Talago Biru berkata: “Jangan, itu yang datang bukan bidadari yang tadi menggoda Agung Kifli.”
“Kau bisa melihat siapa yang datang?” tanya Agung Kifli, yang serentak bertanya dengan si Caruk Putih.
“Ya. Aku bisa melihat seseorang dalam gelap. Sejak dulu,” kata Talago Biru. Agung Kifli heran, dan bertanya: “Kau belajar ilmu melihat kegelapan dimana, Talago?”
“Lihatlah alis mataku. Apakah aku punya alis mata?” tanya Talago Biru dengan nada dingin.
Agung Kifli, Abang Ijo, Sura Jingga dan Aria Kuning berebutan ingin melihat alis mata Talago Biru.
“Ajaib. Kau tidak punya alis mata!” mereka terheran semua.
“Aku mirip ayam jantan dan anjing malam. Tidak punya alis, jadi bisa melihat sesuatu dalam gelap. Termasuk mahluk halus, jika ada,” kata Talago dengan nada tanpa menyombong.
“Yang datang itu,” sambungnya, “Adalah Ki Pita Loka”. “Ha?”
“Sejak aku dibangunkan, aku sudah melihat dia turun dari bukit itu, lalu beliau menuju ke sini.”
kata Talago Biru. Enam remaja itu gembira sekali. Mereka dengan nafas sesak menunggu kedatangan Ki Pita Loka yang sudah menghilang sejak keenam mereka ketiduran. Dan ketika Pita Loka mendekat, serentak mereka bertanya: “Dari mana Ki Guru?” “Aku kembali dari bersemedi,” kata Ki Pita Loka.
“Saya menanti anda dengan cemas.” “Tentu kau mengalami sesuatu.” kata Ki Pita Loka, menerka.
“Sepertinya Guru sudah mengetahui,” kata Agung Kifli. “Memang akulah yang memerintahkan bidadari itu menemui kau, dan berkenalan dengan kau.” “Juga anda yang menyuruhnya membawakan gitar dan kecapi ini?” tanya Agung Kifli seraya memperlihatkan gitar dan kecapi miliknya.
“Ya. Setelah dalam semedi aku ketahui, bahwa tujuh bidadari yang diceritakan oleh ayahku dulu adalah jin-jin pekerja, maka aku membaca ayat-ayat Sulaiman untuk menjinakkan mereka. Kalian mungkin sudah tahu dari pengajian di Kitab Suci, bahwa Nabi Sulaiman menjadikan jin - jin itu sebagai pekerja. Merekalah yang mengangkat batu - batu pualam terindah dari Laut Tengah. Dan merekalah yang membuatkannya Istana dan Gudang Intan. Sementara ini, kalian belum akan aku warisi Ilmu Amsal Sulaiman untuk memerintah para jin yang tujuh di Lembah ini. Jika ilmu kalian sudah meningkat, tentu akan saya warisi amsal itu!”
Caruk Putih menyela mendadak: “Tuan Guru, kenapa kepadaku tidak tuan utus bidadari seperti Agung Kifli?”
“Semua akan mendapatkan giliran. Malam pertama Agung Kifli, Malam kedua, Abang ljo, Malam berikutnya Sura, selanjutnya Aria, dan kemudian Talago, dan terakhir engkau, Caruk!”
“Hah. Cantikkah dia, Guru?” tanya Caruk.
“Tanyakan pada Agung Kifli. Tapi menurut laporan bidadari ungu itu pada saya. Agung Kifli tidak sudi melihat wajahnya. Setelah dia pergi, barulah Agung melihat tapi sudah terlambat, sebab dia sudah ditelan kegelapan. Tiap kalian akan mendapatkan satu warna. Dan tiap warna adalah kekuatan kalian. Cepat Caruk Putih bertanya: “Apakah warna untuk saya?”
“Sesuai dengan namamu. Yang akan mendatangi kau adalah bidadari putih. Dan engkaulah satu-satunya diantara kalian yang berenam ini yang paling banyak akan mengalami cobaan. Tapi jangan takut. Ujian yang tersulit pertanda bagi murid yang terbaik. Bukan begitu saudara sepupuku?”
Agung Kifli mengangguk dan berkata: “Saya masih heran bagaimana bidadari saya itu begitu cepat ke Kumayan menjemput gitar dan kecapiku.”
“Dia memiliki kesigapan pesuruh Ratu Bilkis di dalam Kitab Suci. Waktu dan jarak serta cuaca, tidak mempengaruhinya. Tetapi kita semua harus eling dan waspada. Sebab dalam jarak tujuh bukit di selatan kita ini, ada calon Guru Besar yang juga berminat atas Kitab Tujuh yang justru sedang kita cari kini!” Dan seperti yang dikatakan oleh Ki Pita Loka, memanglah betul semuanya. Apa yang sedang diperbuat tujuh orang itu, di Lembah Tujuh Bidadari itu, diketahui oleh seorang calon Guru Besar. Cuma saja Ki Pita Loka tidak menyebutkan siapa calon Guru Besar itu. Dia tidak lain adalah Ki Harwati yang kini sudah melengkapi namanya dengan Ki Harwati Piransa yang sudah menjinakkan ular Piransa, ular belang kuning sebesar telunjuk jari tapi berkepala dua. Ular Piransa ini sudah langka di dunia, sejak taufan Nuh terjadi ribuan abad yang silam.
Ki Harwati berkata kepada Gumara: “Dungu! Kita harus meninggalkan Guha Piransa ini, Dungu!”
Dengan dungu Gumara tercengang: “Bukankah kita sudah hidup enak di sini? Aku enggan pergi dari sini.” Dengan punggung pedang Turki, disabetnya punggung Gumara. Gumara tertawa menyeringai. Dan berkata; Lagi! Lagi! Enak sekali!”
“Jangan tunggu sampai aku marah, Dungu! Apa kau mau kutebas dengan mata pedangku ini?”
mata Ki Harwati Piransa jadi liar. Dan ular piransa yang melilit di kepalanya pun ikut mendelikkan mata pada Gumara, yang tingkah lakunya sudah begitu berubah seperti anak kecil.
“Berhentilah makan buah delima itu, Dungu!” bentak Ki Harwati Piransa.
“Ini enak. Enak. Enaak!” dan Gumara yang dungu itupun menari-nari. Ki Harwati sudah tidak sabaran lagi. Dia kemudian menghardik seraya menjewer telinga Gumara:
“Kau akan ikut aku, atau aku tinggalkan sendirian di sini?”
“Hemmm ..... Aku enak di sini. Di sini banyak buah delima!” seru Gumara dengan berjingkrak. Kelakuannya memang sudah mirip anak kecil berusia 3 tahun. Dan hal ini sudah amat menyebalkan Ki Harwati Piransa. Saking sebalnya. ditendangnya pantat Gumara yang sedang berjoget itu. Gumara berteriak kesakitan, tapi kemudian tertawa terkekeh-kekeh. “Waktu tinggal sedikit lagi, Dungu!” bentak Harwati, “Jika Kitab Tujuh itu sudah jatuh ke tangan sainganku, percuma aku bertapa 100 hari di Guha Piransa ini!” Gumara yang ketawa konyol, mendadak berubah tenang. Bahkan wajahnya datar bagai mayat tak bernyawa. Dia berdiri tegak. Dia tak mendengar suatu apa pun. Tak nampak wajahnya berubah ketika dia kena bentak Ki Harwati Piransa. Bahkan dia membisu ketika diajak bicara. “Kamu bisu, Dungu!” bentak Ki Harwati dongkol. “U-u .... U .... u!” suara Gumara benar-benar mirip orang bisu. Kalau tadi dia tampak begitu dungu, kini dia seperti benar-benar bisu.
“Dungu! Bicaralah? Ketawalah!” teriak: Ki Harwati Piransa “U-a-U-a-u”“
Ki Harwati menyarungkan pedang Turkinya. Dan dia kemudian berpegang pada ujung bahu Gumara, mengguncang tubuh Gumara dan berteriak panik: “Dia mendadak bisu”
“U-u!”
“Kau bisu!”
“U-a-uuu”
Ki Harwati hampir akan menangis menyaksikan keadaan tragis saudara tirinya. “Aku tidak bisa benci lagi kepadamu, saudara tiriku,” ujar Ki Harwati seraya kebingungan. Tapi kemudian, dengan putus asa bercampur dongkol, diseretnya lengan Gumara. Dan ketika menuruni tebing Bukit Piransa yang curam. Gumara dipegangi terus. Kuatir kalau jatuh. Tapi Gumara dengan u-au bisunya, membandel. Dipegang begitu, malah dia menyentak. Akibatnya dia terpeleset. Dan bergulinganlah si bisu itu diantara batu-batuan yang menghambat akar tebing. Dan setiba di bawah tubuhnya diam tak bergerak. Ki Harwati menjerit lantang. Gema jeritannya bergaung di dalam tebing itu. Beberapa batu besar bergeser. Bahkan ada yang runtuh oleh getaran teriakan Ki Harwati Piransa itu, saking kerasnya. Getaran itu pula yang menyentak kesadaran Gumara dan pingsannya. Dia berdiri. Mencari darimana sumber teriakan menggetarkan tadi. Ketika dia melihat Harwati di atas itu, kini Gumara yang berteriak; “Kamukah di atas itu, adikku?!”
Ki Harwati piransa menjadi kaget, karena si dungu dan bisu itu sepertinya sudah normal kembali. Memang Gumara sudah menjadi normal kembali. Kelihatan tingkahnya yang cemas menyaksikan Harwati menuruni tebing dengan kecepatan seekor belalang betina. Dan ketika Ki Harwati Piransa tiba di bawah. dipeluknya Harwati dengan sisa kecemasan seraya bertanya: “Kenapa kamu gegabah seperti belalang turun ke bawah?”. Ki Harwati masih terpana menyaksikan keajaiban ini. “Aku mohon ampun padamu, Ki Guru, abangku .... karena selama ini telah aku perlakukan kau sebagai budak, jadi kini aku gembira. Bahkan kuatir, bahwa kau baru melewati dua cobaan ujian ilmumu dengan dungu dan bisu. Kita kemana sekarang?” tanya Ki Harwati menguji. “Kita harus segera ke Lembah Tujuh Bidadari”, ujar Gumara. Kemudian, dengan tenaga yang baru dan segar, Gumara membantu terus Ki Harwati Piransa menaiki pebukitan baru di sebalik pebukitan Bukit Piransa.
“Kebetulan hujan gerimis tiba”. kata Gumara setiba di atas. “Kenapa?”
“Hujan gerimis dalam cuaca panas senja ini menciptakan lengkungan pelangi! Tidak kau lihat warna pelangi di depan kita ini?” tanya Gumara.
“Apa maksudnya?”
“Coba perhatikan! Berapa buah bukit warna pelangi yang melengkung itu jaraknya?”
Tampak oleh Ki Harwati, lengkungan pelangi itu melangkahi tujuh buah bukit. Dan dia pun berkata: “Tujuh buah bukit!”
“Ke tempat jatuhnya pelangi yang melengkung melangkahi bukit itulah kita harus pergi. Di tempat jatuhnya pelangi itu, di situlah terletak Lembah Tujuh Bidadari. Berdasarkan mimpiku tadi, di situlah beradanya Kitab Tujuh”.
“Mimpi?”
“Aku barusan mimpi tadi di bawah sana itu!” kata Gumara.
Ki Harwati bertambah heran. Dia ingat, memang akang tirinya Gumara tadi jatuh dan pingan. Tapi ketika itu ia terjatuh kepeleset karena kedunguannya dan dia jadi bisu.
Apakah pingsan sejenak di bawah itu tadi ibarat dia tidur bermimpi?
“Ceritakan mimpi itu”, kata Ki Harwati.
“Mimpiku benilai mimpi Nabi-nabi. Ibarat mimpi Nabi Sulaiman atau Nabi Jusuf”. kata Gumara.
“Kita berangkat saja ke sana ”, kata Harwati, “Soal mimpi itu bisa kau ceritakan dalam perjalanan. Aku tidak sabaran lagi untuk mendapatkan Kitab Tujuh itu”.
“Berdasarkan mimpiku, ada yang mesti ditinggalkan”, kata Gumara.
“Ditinggalkan? Apa itu?”
“Dua barang yang diharamkan oleh Kitab Tujuh”, ujar Gumara.
“Katakan apa itu!” ujarKi Harwati tak sabaran. Gumara tertegun sejenak, lalu berkata: “Dua barang yang kau sayangi. Yaitu ular piransa yang melilit di kepalamu itu. Dan Pedang Turki itu!”
Mendengar itu, wajah Ki Harwati Piransa berubah menjadi geram.
“Kau jangan mencoba memperbudakku! Kau masih berkedudukan sebagai budakku sejak aku mendapatkan kesaktian Pedang Turki dan Ular Piransa ini!” Dan ular kecil belang kuning berkepala dua yang melilit di kepala Ki Harwati itu bergerak-gerak menggeliat. Ki Harwati Piransa merasakan hal itu. Dan dia menatap pada Gumara dengan tatapan angkuh, lalu berkata: “Tidak kau lihat senjataku sedang marah di atas kepalaku?” “Aku melihatnya”, kata Gumara. Dalam sekelebatan, Ki Harwati mencabut pedang Turkinya. Pedang itu tambah gemerlapan, terutama matanya, ketika diacu-acukan oleh Ki Harwati ke hadapan Gumara. Gumara menyaksikan gertakan yang berbahaya itu. “Itulah syarat dari mimpiku itu. Kita harus hadir di Lembah Tujuh Bidadari dalam keadaan tangan kosong. Tanpa senjata”, kata Gumara.
“Ucapanmu seakan-akan memperbudakku! Kau budakku! Kau harus tunduk dengan perintahku.Bukannya aku yang harus tunduk dengan perintahmu! Apalagi itu perintah berasal dari mimpi!” Ular Piransa sebesar telunjuk dengan warna belang kuning itu semakin menggeliat di jidat Ki Harwati Piransa. Dan ketika dia akan sarungkan pedang Turkinya itu, ternyata bilah pedang itu tidak bisa masuk pada sarungnya.
“Ini satu pertanda, bahwa salah satu dari senjata-senjataku ini musti makan orang”, kata Ki Harwati Piransa dengan menatap buas kepada Gumara.
“Kalau begitu, dengan kata lain, aku harus jadi korban. Jadi tumbal”, pancing Gumara menahan marah.
“Kecuali jika kita berangkat ke Lembah Tujuh Bidadari tanpa syarat”, kata Ki Harwati dengan nada marah. Betapa pun gondok dan terhina. Gumara masih bisa menguasai marah. “Keinginanmu terlalu banyak, wahai calon Guru Besar!” kata Gumara dengan nada jantan. Kejantanan nada suara Gumara, ditafsirkan batin Harwati sebagai keangkuhan. Dibentaknya kakak tirinya itu:
“Kalau begitu, kamu yang harus tinggal di sini! Aku sudah tahu di mana letak Lembah sakti itu. Kau tak usah mengawalku, sekalipun kedudukanmu masih budakku!”
Bentakan itu sungguh bringas. Bagai singa betina lapar, Ki Harwati menghentakkan kakinya kebumi dua kali, lalu berkata: “Selamat tinggal, budak!”
“Kau terlalu durhaka, adikku”, ujar Gumara dengan nada pedih. Hatinya terluka. Dia melihat betapa cepatnya langkah Harwati menyusupi ilalang dalam hujan gerimis itu, tanpa bisa dicegah. Gumara masih berdiri terpaku dengan hati geram dan penuh kekuatiran. Ki rotan yang juga merasa mendapatkan wangsit untuk memiliki Kitab Tujuh, mengapungkan diri di atas sungai. Karena ia menyesuaikan dirinya dengan takwil mimpi malam sebelumnya, bahwa banjir akan tiba, sementara ini dibiarkan dirinya mengapung, kadang dia menyangkut pada akar kayu di tebing sungai itu. Ya. sungai Selawi akan mengalami banjir besar. Menjelang tengah hari, Ki Rotan yang mengapung itu merasa gembira. Mimpinya mulai memperlihatkan bukti! Tendangan arus dibawah tubuhnya yang mengapung mulai terasa keras. Sementara kupingnya mendengar suara gemuruh di sebelah mudik sana!Tanda di hulu sungai Selawi sudah mulai banjir besar”
“Mimpiku menjadi kenyataan!” dia berseru ketika tendangan arus sungai bertambah keras. Dan matanya melihat jelas, di arah hulu sana , sungai Selawi mulai bergulung-gulung bagai tikar raksasa yang dibuka. Ia seakan-akan sudah separoh sadar saking gembira! Ia seakan siap untuk ditelan gelombang sungai Selawi yang dahsyat itu ! Mendadak di dengarnya suara teriak keras dari atas tebing.” Hai lelaki! Cepat ketepi!”.
Suara itu suara seoraing wanita. Dan wanita itu sepertinya gadis yang masih perawan. “Aku Ratu Senik. memperingatkan tuan!” seru suara itu. Nama itu dikenal oleh Ki Rotan. Dia menjadi bimbang. Dia lalu manggepakan kakinya, hingga dia ke tepi. Lalu cepat dia raih akar pohon tebing, dan cepat memanjat ke atas tebing. Separuh panjatan, air sungai Selawi menggerutu menghantam tebing kiri dan kanan, menciptakan bunyi berdengus mengerikan. Dan Ki Rotan selamat dari telanan sungai bah itu . . . Ketika Ki Rotan merangkak terus ke atas, wanita tadi sudah seperti menyambut kedatangannya. Ketika dia memperbaiki rambutnya, Ki Rotan pun melirik dengan sorot birahi padanya. Dan mata wanita itu tunduk dan Ki Rotan pun berkata: “Sebutkan nama tuan sekali lagi!” “Namaku Ratu Senik”, ucapnya. Ketika berbicara sekalimat singkat itu, tampaklah gigi wanita itu telah dikikir rata, bukti bahwa dia telah menikah. “Anda seorang janda?” tanya Ki Rotan. “Ya”.
“Kalau begitu anda adalah janda Guru Besar guru semua guru?”
“Betul, Saya ini janda Ki Tunggal harimau pertama di kawasan seratus bukit dan dua puluh lima sungai”, kata Ki Ratu Senik. Birahi Ki Rotan lalu semakin menyala, sebab dalam mimpinya yang dia dapat semalam berdasar wangsit yang ia terima adalah kalimat terpenting. “Jika engkau berhasil meniduri janda Guru Besar, segera ilmu itu akan menitis lewat dia kepada anda. Dan anda akan mendapatkan Kitab Tujuh seperti anda menanti jatuhnya anai-anai setelah menikmati lampu terang”.
“Tapi tuan Ratu tidak memegang tongkat”, kata Ki Rotan.
“Tuan ragu?” tanya Ratu Senik. “Bukan ragu. Tiap guru senantiasa ditemani tongkat, mengingat harus berjalan jauh”. “Saya bukan guru. Saya hanya pewaris ilmu dan suamiku yang telah sampai ajal. Menurut suamiku, musuhku bukan pendekar pria. Tapi pendekar wanita”.
Ki Rotan makin yakin, apalagi bumi yang dia pijak saat itu adalah bumi pertapaan Ki Tunggal, yang syah kebenarannya! Mulailah Ki Rotan digelimangi nafsu untuk tidur dengan wanita itu. Seluruh otot tubuhnya jadi kejang dan tegang. Lalu dia berkata: “Saya kuatir malam ini turun hujan lebat, dan saya tidak punya tempat berteduh”. “Kenapa tuan cemas?” Mari ke gubukku. Di sana saya dapat menyelimuti anda dengan kain berlapis-lapis”, kata Ki Senik. “Ketika saya tuan selimuti, tuan tentu kedinginan”, kata Ki Rotan. Wanita itu tarsenyum akrab, dan dari pelipis matanya tampak urat kegarangan bagai seekor cacing hidup dilapis kulit kuning dan licinnya. Wanita itu memberi isyarat agar Ki Rotan mengikuti dia menuju pondok pertapaan almarhum Ki Tunggal yang terbukti lagi syah dan benarnya. Pondok padepokan itu seluruhnya terbuat dari daun nipah. Dan bila Ki Rotan masih ragu, janda itu sendiri pun bimbang mengajak masuk. Nah, waktu hujan turun menjelang senja, waktu itulah Ki Rotan yang sedang berdiri bagaikan patung mendengar tutur manis janda itu:
“Nanti tuan sakit terkena hujan lebat yang akan turun. Masuklah, tak baik lama berpatung diri di pintu?”  Ki rotan pun masuk. Satu obor kecil yang cahayanya terpelihara, membuat sinarnya menciptakan suasana merangsang. Hujan tobat pun menjadikan bunyiannya menggelorakan dada. Sementara selingan angin seakan-akan menghembus - hembuskan nafasnya ke dalam paru-paru Ki Rotan. Petir dan geledek silih berganti ketika malam tiba. Dan janda itu pun menyodorkan makanan umbi dan minuman nira. “Makanan apa ini?” tanya Ki Rotan memancing. “Makanan istimewa, yang selalu aku hidangkan pada suamiku menjelang waktu tidur tiba,”ujar Ki Senik “Ho-ho!”
“Ini umbi pasak bumi. Dan ini nira Tapanuli yang bisa merangsang lelaki”.
“Aha ... !” Ki Rotan tertawa dan dia menoleh ke arah janda itu dengan mata jelalatan.
“Saya tahu siapa anda”, kata Ki Senik.
“Seluruhnya tentang diriku?”“
“Suamiku telah menceritakannya. Anda adalah lelaki yang gagal memperkosa wanita, termasuk murid anda Ki Harwati. Padahal perkosaan itu adalah perbuatan zina yang selalu membatalkan peningkatan derajatmu”, ujar janda itu. Ki Rotan berubah jadi kecut hati. Tapi kata-kata berikutnya dari mulut kecil janda itu segera menghiburnya. “Kecuali apabila suka sama suka, malaikat pun menjadi saksi syahnya suatu hubungan”.
“Anda kuatir akan aku perkosa?” tanya Ki Rotan bimbang, memancing. “Jika tuan berniat memperkosa saya, saya kuatir ilmu anda akan menjadi bambu buta. Itu adalah sifat tergesa yang melawan kodrat alam. Yang dapat dibenarkan apabila suka sama suka lalu menjadilah dua mahluk lain jenis sebagai suami-isteri”, kata Ki Senik yang ucapan itu segera membangkitkan rangsangan. Ketika Ki Rotan beranjak duduk ingin membelai kepala Ki Senik, janda itu berkata. .. Kekuatan anda mutunya akan di bawah kadar suamiku almarhum jika tuan tidak makan umbi pasak bumi masakanku dan meminum nira pembangkit tenaga”. Dan dia pun bersabar hati mengikuti saran janda itu. Dan dia mendapat kehormatan disuapi makan malam, dan diminumkan nira itu. Tapi di waktu telah kenyang dia, dia berkata: “ Bolehkah tanya tidur sekarang? Mataku sudah berat sekarang”. “Sebelum tuan masuk selimut terlebih dulu wajib menyatakan ikrar, agar semua yang tuan perbuat pada saya akan saya jalin dengan apa yang saya persembahkan. Dan menjadi syah jika tujuh malaikat mendengarkan ikrar tuan”.
Janda itu mengulurkan tangan, yang telapaknya dipegang oleh Ki Rotan. Lalu janda itu menuntut kata-kata ikrar dimaksud: ““Saya. Ki Rotan, dengan saksi tujuh malaikat, mengawini Ki Ratu Senik, janda Ki Tunggal yang merupakan Guru dari segala Guru di seratus bukit ini yang dikawa oleh selawe sungai, dan menjadikannya isteri syah saya, sehingga tidur dan makan dengan dia bukan lagi merupakan perzinaan”. Kata-kata ikrar yang diikuti Ki Rotan itu cukup fasih sehingga Ki Rotan langsung saja menerkam tubuh janda itu tanpa menunggu diselimuti. “Sungguh tuan ini seorang lelaki sempurna”“, demikian pujian Ki Senik sehabis dia mandi keramas dengan tujuh kembang pilihan.
“Tapi saya harus mengembara lagi”, kata Ki Rotan.
“Mencari Kitab Tujuh. “
“Ya”.
“Keinginan tuan dituntut oleh kesabaran. Tuan tak beda dengan Ki Harwati, yang kemarin pagi mendatangiku ke sini, memaksa aku untuk memperlihatkan Kitab Perjalanan untuk mendapatkan peta persembunyian Kitab Tujuh Lupakah tuan bahwa, tuan tidak bisa pergi sendiri? saya ini isteri, garwa tuan, dan wajib menemani anda sampai mati? Dan pernahkah tuan mendengar, cobaan dan ujian yang harus dialami untuk mendapatkan Kitab Tujuh itu?”
“Aku lalu berfikir tentang Ki Harwati”, kata Ki Rotan, “Rupanya dia lebih dahulu melangkah dariku, sebelum aku sendiri melangkah”. “Jangan kecewa. Siapa yang melangkah duluan, belum tentu dialah yang duluan sampai”, kata Ki Ratu Senik. “Tapi akulah yang mendapatkan wangsit”, ujar Ki Rotan. “Wangsit itu hanya petunjuk. Wangsit harus disertai dengan lakon. Tiap lakon mengalami perjuangan. Jika tuan bersikeras pergi sendiri, tuan akan menderitakannya sandiri. Jika saya ikut, keadaan jadi lain. Satu tugas besar dan berat, lebih ringan dilakukan berdua”....................... Ki rotan seutuhnya percaya kepada ucapan Ki Ratu Senik, karena isterinya ini bukan perempuan sembarangan. “Tadi engkau menyebutkan nama Ki Harwati. Dan kau pun kenal siapa dia dengan baik. Kau bilang, dia kesini memaksamu untuk menanyakan Kitab Perjalanan. Untuk mengetahui peta letak Kitab Tujuh itu. Kalau begitu, Bukit Tunggal ini adalah pusat semua ilmu dan kitab. Jika tidak, kenapa dia berkali-kali harus ke sini”.
“Itu mungkin benar. Tapi seluruh rahasia itu ada pada Ki Tunggal. Padahal begitu beliau mati, terkuburlah seluruh rahasia itu”.
“Jadi apa artinya perkawinan kau dan saya ini?” tanya Ki Rotan.
“Tentu saja ada. Jika aku hamil, aku akan melahirkan keturunanmu!”
“Bukan itu makna pertanyaanku!”
“Setidaknya, memenuhi kebutuhan kelamin anda dan saya, tuan guru”.
“Ah, yang aku harapkan dan kau bukan sekedar kebutuhan kelamin. Aku juga butuh tuah darimu karena kau bekas isteri pendekar bertuah”, kata Ki Rotan. Ki Ratu Senik memegang bahu suaminya. Dan dia berkata lirih: “Kalau demikian, ikrar perkawinan kita tak lebih dari perkawinan hewan. Begitukah anggapan tuan?”
“Kau harus memberi sasuatu padaku”, kata Ki Rotan.
“Apa yang harus kuberi?”
“Bermacam-macam rahasia. Setidaknya Tuan Guru Tunggal pernah bercerita padamu tentang rahasia hidup beberapa pendekar dan calon pewaris ilmu sakti. Pernahkah beliau ketika hidup menceritakan tentang pendekar wanita Ki Harwati?” tanya Ki Rotan.
“Pernah ada disebutkan, bahwa dia akan mewarisi Pedang Ratu Turki. Dan kulihat buktinya, pendekar wanita ini memilikinya, ditaruh di pinggangnya ketika dia datang”.
“Apa lagi?”
“Satu hal terjadi di luar ramalan itu!” kata Ki Senik.
“Ada kelainan?”
“Dia tidak menjadi pemilik Kitab Makom Mahmuda. Padahal gandengan Pedang Turki itu haruslah kitab itu, agar pedang itu tidak salah penggal, kerena pemilik kitab itu tahu jalan masuk dan jalan ke luar yang benar. Karena kedudukan pemilik dua barang sakti itu meliputi cahaya batin. Ini malah sebaliknya. Dia seakan-akan gelap, tak tahu arah, malah ke sini menanyakan padaku Kitab “Menurutmu . . . apa kekurangan Pendekar Harwati?” tanya Ki Rotan. “Mungkin kekurangannya adalah dia berjiwa serakah”, kata Ki Senik.
“Koq anda tahu?”
“Dia memiiliki Mahkota Ular. Di kepalanya ada ular Piransa belang kuning, yang mungkin akan selalu menyesatkan dia. Tidak semua pandekar harus menerima tawaran untuk menghiasi dirinya dengan barang - barang sakti. Menurut almarhum suamiku, tiap pendekar yang baik memiliki benda sakti kembar. Sebagai contoh: bila memiilki pedang sakti, harus punya satu kitab sakti. Juga pribadi pendekar harus kembar: Jika dia punya watak baik, harus disertai watak berkorban. Jika dia punya watak buruk, dia pun harus punya sifat mau menguasai orang lain. Apa anda masih buta dari ilmu satu ini?”
“Bukan begitu, istriku! Apa kau berpendapat dia terhalang mendapatkan Kitab Makom Mahmuda itu karena dia memelihara ular perhiasan?” ,
“Kukira betul demikian”, kata Ki Ratu Senik.
“Ada satu pertanyaan pentingku”, kata Ki Rotan.
“Cobalah menanyakan, selagi aku bisa menjawab”.
“Pertanyaan terpenting buatku, selain Ki Harwati, siapa lagi nama pendekar terpenting di kawasan seratus bukit ini?”tanya Ki Rotan.
“Dia masih turunan Ki Karat. Namanya Ki Gumara. Setelah matinya harimau tua ... almarhum suamiku ... kudengar Ki Gumara mengisi kekosongan itu. Harimau Tujuh akan tetap tujuh selamanya”.
“Namaku tak beliau sebut?”
“Ada . Tapi tidak dalam urutan penting, seperti halnya nama Ki Ibrahim Arkam”.
“Ada pernah juga disebut nama Pendekar Pita Loka?” tanya Ki Rotan. Ki Senik tardiam sesaat. Menurut ingatannya, nama ini tidak boleh disebutkan oleh siapapun kendati mengetahui rahasia kelebihannya. Jika dilanggar sumpah ini, maka Ki Senik akan melahirkan anak cacat. Diamnya Ki Senik, membuat Ki Rotan curiga, lalu menuding:
“Kau mau merahasiakan kelebihan Pendekar wanita yang satu ini?”
““Bukan aku ingin merahasiakan pada anda. Bukankah anda suamiku? Tapi sekiranya aku menceritakan perihal dia ini, aku akan dikutuk oleh sumpah yang sudah aku janjikan pada Guru semua pendekar. Almarhum Ki Tunggal”. “ Ki rotan menjadi merah wajahnya. Dia berusaha menahan amarah. Namun yang akan dilampiaskan kemarahannya adalah bukan sembarang perempuan. Ketika rasa ngeri itu melintas, wujud pribadinya jadi lemah lembut. Dia bertanya dangan nada merendah:
“Bolehkah aku mengetahui, dari tujuh pendekar harimau itu, detik ini ada berapa pendekar yang bersibuk diri?”
“Tiap kejadian, selalu tiga pendekar bersibuk diri”. “Dari tujuh harimau itu?”
“Belum tujuh harimau itu seluruhnya bersibuk. Pokoknya, satu diantara tujuh harimau itu harus menjalani kesibukan “.
“Setidaknya kamu diberitahu ke mana Ki Harwati pergi?”, kata Ki Rotan.
“Jika pun dia berkata, belum tentu langkahnya ke sana . Pendeknya dia akan selalu dirundung kegelapan selagi dia campuradukkan Pedang Ratu Turki dengan memeli hara barang sakti selain Kitab Makom Mahmuda. Selagi minyak tidak dapat disatukan dengan air, begitupun ilmu hitam tidak dapat dibaurkan dengan ilmu putih”.
“Apakah pernah kau berjumpa dengan pendekar sinting?” tanya Ki Rotan.
“Oh, lelaki gila itu? Maksud tuan Ki Dasa Laksana?”
“Ya!”
““Dia pemilik ilmu Setan”;
“Setidaknya salah satu dari ramalannya bisa terbukti !” ujar Ki Rotan.
“Memang dia meramalkan ketika mampir kesini, bahwa Ki Harwati akan menyerbu Desa Kumayan, membunuh beberapa orang tak berdosa dan memenggal lengan 17 remaja sebagai tumbal mendapatkan buku Kitab Tujuh”.
“Dia juga manyebut nama tempat tersimpannya KitabTujuh”.
“Dia hanya menduga, Kitab Tujuh itu ada di Bukit Kumayan!”.
“Dia ke Bukit Kumayan?” desak Ki Rotan. “Entahlah. Tapi jangan dengar ucapan orang gila. Berteman dengan setan, penghulunya adalah iblis-iblis. Aku ngeri jika anda dipengaruhi oleh ucapannya”, kata Ki Senik. “Kini hampir jelas bagiku, apa yang kau rahasiakan pada saya tentang Ki Pita Loka. Dia puteri Ki putih Kelabu. Dia berasal dari Kumayan. Jadi anda merahasiakan ini sebab kuatir saya akan mengembara ke Kumayan, lalu meninggalkan anda. Sedangkan perkawinan kita baru satu malam” Mendengar tantangan itu, Ki Senik bersedih hati. Dia pernah dengar juga tentang ambisi Ki Rotan yang kobarannya bagai api. Ki Rotan pun tahu kelemahan wanita muda ini. Kelemahannya adalah sex..Jadi pada malam harinya, dicumbunya isterinya itu, tetapi setiap isterinya minta disetubuhi, dia selalu menolak. Hanya dibuatnya ketagihan birahi belaka! “Katakan dulu rahasia Kitab Tujuh itu, agar akulah jadi pemiliknya. Tidakkah kau bangga, apabila aku menjadi raja dari semua guru, temasuk raja dari harimau yang tujuh?
“Jangan bujuk aku sehingga melanggar sumpah”, kata Ki Senik.
““Kau takut anakmu akan cacat?”
“Tentu. Karena itulah inti sumpahku!”
“Kau kalau begitu berpihak kepada Ki Pita Loka? Dia toh musuh saya, dan musuh saya berarti musuh kau !”
Lalu terus saja dibelainya tubuh isterinya agar wanita itu ketagihan dengan rasa birahi dan memanglah usahanya mendekati hasil. Ki Senik meronta dengan dengus nafasnya yang deras, memeluk Ki Rotan secara membabi buta, tapi Ki Rotan mendorong tubuh isterinya sehingga jatuh lagi ke sampingnya.
“Berikan satu rahasia itu”, kata Ki Rotan.
“Tapi penuhi keinginankul” kata Ki Senik. “Tentu”. “Kau sertakan saya ikut ke sana ?” tanya Ki Senik. “Itu soal mudah. Sebutkan dulu rahasianya!” “Rahasianya di ... Lembah Tujuh Bidadari”. ujar Ki Senik yang terus menerkam tubuh suaminya dan menyerangnya dengan beringas sampai tercapailah kebutuhan indahnya akan persetubuhan. Sepuas apa yang dia butuhi itu, dengan bermandi peluh dia pun tergelimpang di samping suaminya bagai seorang yang pingsan. Dia barusan terjaga dari tidur pulasnya, ketika cahaya matahari memasuki celah dinding nipah. Tapi ketika dia meraih pakaiannya, segera dia sadari, bahwa kenikmatannya semalam sudah dikhianati oleh sumpah yang dilanggar, dia meraba perutnya, dan yakin bahwa dia akan hamil sebagai akibat kepuasannya semalam. Ah, ketika dia mencari-cari suaminya, Ki Rotan sudah tak ada lagi. Ki Rotan sudah meninggalkan Bukit Tunggal, bahkan sudah terlibat dengan pergumulan menyeberangi sungai Selawi yang airnya buas akibat banjir. Ki rotan sebenarnya sudah hampir dapat meraih akar pohon ganjuling, namun dia lepas lagi. Lalu tubuhnya membentur satu batu besar, terbanting lagi ke kiri dan ke kanan. Di luar dugaan, Ki Harwati ternyata mengalami musibah banjir sungai Selawi, lebih hebat lagi dan yang dialami oleh Ki Rotan. Dia selama dua hari satu malam terombang - ambing dihempaskan arus sungai Selawi, karena kesalahan menempuh jalan setelah dia pergi meninggalkan Ki Senik menuju mudik. Dia yang merasa dirinya mampu meniti arus sungai, mendadak sontak diserbu oleh banjir raksasa dari arah hulu sungai itu. Dikiranya mudah melawan arus mendadak. Dan dia hampir saja tanggelam hanya karena ular piransa yang membelit keningnya copot dari lilitan kepalanya. Dia lebih mengutamakan mencari ular sebesar telunjuk jari itu ketimbang berusahamenyelamatkan diri. Dan seluruhnya berurusan dengan nasib malang atau melintang. Dia tersangkut pada akar pohon gading hijau yang akarnya mencengkeram sungai. Lalu tak bisa lepas lagi seperti masuk perangkap. Ketika itu pulalah, setelah beberapa jam dalam perangkap akar tanpa daya, dia melihat satu sosok terlempar membentur batu tebing ke kiri dan ke kanan. Ki Harwati berteriak:
“Tolong .....! Tolong!”. Ki Rotan segera mencoba mengendalikan diri dari hempasan arus sungai Selawi yang mengamuk itu, menuju suara minta tolong itu. Usahanya berhasil. Dan dia tercengang ketika memegang akar pohon gading hijau yang sepertinya memenjarakan Ki Harwati. “Ki Rotan, tolong cabut pedangku, dan tebaslah akar pohon gading hijau ini!”, ujar Ki Harwati dengan nafas terengah mau manyerah. “Aku bisa saja mengeluarkan kamu dari penjara musibah ini. Tapi kau harus bersedia bersamaku mencari Lembah Tujuh Bidadari”, kata Ki Rotan. “Kini, bahkan diriku sendiri pun seutuhnya kusediakan memberinya pada tuan, tidak menolak lagi seperti dulu, asal saya terlepas dari cengkeraman akar pohon gading hijau ini. Tolong cabutkan pedang saktiku ini, tuan Guru”. “Baik, baik, Jika kau langgar janjimu, kau akan celaka”, kata Ki Rotan. Dengan susah payah, Ki Rotan berusaha mencabut pedang Turki itu dari sarangnya yang terjepit di pinggang Ki Harwati. Tetapi rupanya mencabut pedang sakti begitu tidak semudah mencabut pisau di pinggang tukang mangga. Begitu semangatnya Ki Rotan berusaha untuk mencabut, sementara Ki Harwati pun sudah meronta-ronta dengan lebih bersemangat untuk membebaskan diri, segera setelah ..... pedang itu tercabut maka bergemuruhlah air yang mendadak datang dari arah hulu, banjir yang lebih besar sehingga pohon gading hijau di tepi tebing itu tumbang. Satu kilatan kelihatan, yakni kilatan mata pedang yang terpelanting entah ke mana. Sementara itu pula Ki Harwati terseret bersama-sama akar pohon yang hanyut menuju hilir, disertai oleh suara gegap gempita. Ki Rotan sendiri lebih mengutamakan keselamatan dirinya daripada dia sendiri tenggelam. Dia terseret labih cepat ketimbang Ki Harwati yang masih terkena cengkeraman akar pohon raksasa itu. Tapi dalam berusaha menyelamatkan nyawanya, Ki Harwati pun dapat membebaskan dirinya dari cengkeraman akar. Hanya karena suatu kebetulan pohon itu membelintang dan Ki Harwati tetap diseret arus lalu lepas. Dia berenang kian kemari untuk mencari keselamatan. Sampai akhirnya dia melihat tangan menggapai-gapai di tengah sungai lebih kehilir sana , tak lain tangan Ki Rotan yang mohon pertolongan. Banjir sungai Selawi yang bentuknya bagai lingkaran ular itu, telah menantikan nasib dua pendekar lain jenis ini berkali-kali saling tolong menolong. Dan kedua-duanya berhasil selamat dengan saling berpegangan sewaktu arus menyeret mereka ke cabang sungai yang ke kiri. Ketika itu hari senja, sewaktu Ki Harwati tanpa sengaja berseru:
“Lihatlah pelangi di langit itu! Aku sudah mnemukan tempat yang mesti dituju!” Tampak memang Bukit Segundul sebagai petunjuk di sebelah Bukit Api. Di belahannya itulah Lembah Tujuh Bidadari. Namun dalam kegembiraan itu Ki Harwati menyesali: “Sayang senjata saktiku dua-duanya lenyap karena musibah ini”. “Jangan berdukacita, Guru Muda. Saya siap mengawal tuan untuk sampai ke tempat itu. Bukankah yang tuan maksud, di tempat lengkung pelangi jatuh itu terletak Lembah Tujuh Bidadari, dan di sana pula bersemayam Kitab Tujuh?”. Ki Harwati terdongak kaget. Sebelum dia bertanya:”Jangan dikira hanya tuan Guru saja yang mengetahui rahasia itu. Istriku janda pendekar besar Ki Tunggal. Satu diantara kita akan menjadi pemilik Kitab Tujuh itu. Hal itu tak perlu anda rahasiakan lagi”, kata Ki Rotan, yang membuat Ki Harwati tambah melongo.  AKHIRNYA, Ki Harwati terpukau oleh ramalan - ramalan yang diucapkan Ki Rotan sehingga dia berkata: “Sekiranya aku ikuti apa yang dituturkan kakakku Gumara, mungkin segalanya dengan mudah aku petik”, lalu meneruskan langkah. “Itu tetap saja sulit, karena satu pekerjaan besar lebih baik dilakukan dua orang daripada satu orang” ujar Ki Rotan yang sebenarnya menjiplak ucapan Ki Senik. Mereka melanjutkan langkah sembari terus bicara. “Bagaimana caranya?”, tanya Ki Harwati. “Bukankah kau berjanji akan menyerahkan dirimu seutuh tubuhmu jika kau selamat dari bencana sungai Selawi?” usik Ki Rotan. “Itulah kelemahan tuan, Tuan Guru”, kata Ki Harwati. “Dan kelemahanmu aku tahu pula. Kau pendekar serakah. Kau yakinilah, bahwa bukan kamu yang akan mendapatkan Kitab Tujuh itu”, kata Ki Rotan. Mendengar ucapan itu, langkah Ki Harwati terhenti. Ki Rotan merasa terancam bahaya jika Ki Harwati mengamuk. Lalu dia merasa butuh teman dan ditempuhnya cara bijaksana dan damai. “Kita dari dulu selalu berkait dengan hutang budi. Jangan sampai kau tersinggung oleh ucapanku. Perjalanan kita masih jauh, setidaknya turun naik jurang sebanyak lekukan enam kali lagi. Mari kita tidak bicara sepatah kata pun. Kita menuju jatuhnya pelangi sekarang...” Dan alangkah terkejutnya Ki Harwati maupun Ki Rotan, sebab warna lengkung pelangi itu hilang seketika itu juga, kendati gerimis dan cahaya matahari masih ada. Keduanya kehilangan pedoman, saling bertanya:
“Di mana kita?” Ki Rotan melihat satu jalan lurus. Ki Harwati juga melihat jalan lurus itu. Keduanya kehilangan akal, sampai muncul seseorang dari balik sebuah bukit ilalang. Orang itu melangkah bagaikan orang mabuk, dari arah Bukit Anggun. Ketawanya membelah angkasa, langkahnya sempoyongan. “Kalian berdua tentu tak lupa siapa saya”, kata orang itu. “Ki Dasa Laksana!” seru Ki Harwati serentak dengan Ki Rotan. “Kalian berdua tersesat. Dan butuh aku tentunya”, kata Ki Dasa Laksana. “Betul, kau penolong kami”, kata Ki Harwati. “Jangan tuan guru muda”, kata Ki Rotan memperingatkan, “Janda Ki Tunggal yang aku kawini sudah meyakinkan diriku, bahwa ilmu Ki Dasa ini adalah ilmu Setan dengan iblis sebagai Penghulunya. Jika kita dengar apa yang diucapkannya, kita malah tidak mendapatkan apa yang kita cari”. “Aku potong pembicaraanmu, tikus tua bangka! Aku tahu apa yang kalian cari. Padahal aku telah memilikinya. Telah aku tumpas Ki Pita Loka, dan telah kusimpan Kitab Tujuh itu. Jika kalian berdua ingin mendapatkan tuah Kitab Tujuh, dan berguru kepadaku, syaratnya sedarhana”. “Apa?” tanya Ki Harwati terkena pesona. “Sederhana. Kalian berdua, bersama aku, menuju Desa Kumayan. Kita habisi nyawa enam harimau yang bercokol di sana , kita rubah tata hidup orang di Kumayan. Dan kita bertiga baru syah menjadi orang-orang sakti. Tahukah kalian, bahwa panghalang semua ilmu sakti itu hanya satu orang, yaitu Ki Pita Loka. Sedangkan dia sudah aku bunuh di Lembah Tujuh Bidadari dalam perang tanding yang dahsyat. Kalau kalian tidak percaya, mari kita lewati kuburannya”. Ki Rotan kini ikut terpesona. Langkahnya jadi besar mengikuti langkah Ki Dasa Laksana yang seleboran kayak orang mabok itu. Ketika sampai ke satu lembah, dia menunjuk tujuh pancang kuburan. Ki Harwati tercengang. Enam kuburan berisi enam potongan tangan dan satu kuburan lagi tidak. “Yang tidak sempat aku potong tangannya hanya satu ini, Ki Pita Loka. Tahukah kalian, mengapa Ki Pita Loka gagal mendapatkan Kitab Tujuh? Ini, enam pemuda remaja, pria-pria muda yang berguru padanya. semuanya dia ambil bujangnya melalui perkosaan halus. Dia kena laknat tujuh bidadari. Dan kampungnya Desa Kumayan pun dilaknat para guru, sebab dia anak Ki Putih Kelabu, salah satu dari harimau yang tujuh yang disegani, yang kini jumlahnya jadi enam karena matinya Ki Tunggal. Jadi, kalian berdua harus berterimakasih dipertemukan dengan saya. Ayoh melanjutkan perjalanan. Kita ke Kumayan. Kita goncang desa enam harimau itu. Kita bunuh satu persatu orang-orang yang disegani, sehingga seluruh penduduk jadi kecut. Dan kita bertiga akan ditakuti!” Semangat Ki Harwati, begitu juga Ki Rotan, berkobar. Dan ketika mereka menemukan seorang lelaki utas bersama isterinya, Ki Dasa Laksana memanggil mereka. Ternyata mereka orang utas asal Kumayan. Ki Dasa Laksana dalam sekelebatan memenggal lengan lelaki utas itu. Isterinya melolong ketakutan. “Jangan kuatir. Kami bertiga cuma butuh tumbal lengan suamimu ini. Kalian berdua tidak akan kami bunuh. Pulang tenang ke Kumayan, beritahu pada penduduk, bahwa tiga pendekar pimpinan Ki Harwati akan menyerang desa kalian, kecuali jika penduduk bertekuk lutut.” Gumara barusan saja melepas lelah di Bukit Kumayan setelah melalui perjalanan panjang. Dia kuatir, kembalinya ke Kumayan akan dielu - elukan penduduk secara berkelebihan. Pakaiannya yang compang camping merisaukannya dan pastilah akan dianggap keanehan. Dan apabila dia langsung kembali ke rumahnya yang masih terikat kontrak sewa itu, pastilah juga dia akan berpergokan dengan salah seorang tukang ronda. Dan mungkin pula rumahnya itu sudah dikontrakkan lagi kepada orang lain sebab bisa saja dirinya dianggap “hilang”, dan setiap perkataan hilang akan punya dua makna. Hilang mati, atau hilang sebagai manusia biasa yang akan menjelma menjadi manusia istimewa, Jika anggapan yang terakhir ini timbul, dia akan dikira nanti sudah menjadi “Dukun Sakti” Tapi pakaian kumal dan compang camping ini harus segera diganti sebelum dia dipergoki satu orang penduduk Kumayan. Dia tiba-tiba ingat pada mantera “ilmu silap mata” yang pernah diwariskan ayahnya sebelum Ki Karat itu wafat;
Ada karena aku ada
Aku ada karena ada
Aku tiada karena ada
Sembilan liang lima pancar Lima pancar sembilan liang
Aku ada karena sinar
Tiada sinar aku menghilang!
Lang kata berbilang
Aku hilang dalam Lang Karena keyakinannya pada ilmu hilang itu, diamalkannya membaca mantera itu. Seketika itu juga
menjelma seekor harimau. Dan di atas punggung harimau itulah kini Gumara berada Amalan mantera itu terus saja dia ucapkan. Dan dia telah tiba memasuki pekarangan rumah. Ternyata rumah itu sudah berpenghuni. Gumara memutar pegangan pintu, lalu pintu terbuka tanpa suara. Gumara melihat seorang lelaki tidur diambin. Lelaki itu tidur nyenyak. Gumara masuk ke kamar.
Dan dia melihat kopornya masih utuh. Dia ambil sepasang baju dan celana, lalu dia menukarnya di kamar mandi. Dia ganti sepatunya. Lalu dia buang pakaian usang dan sepatu usangnya yang lusuh dan koyak. Kemudian dia keluar rumah setelah bersisir rapi. Setiba di luar rumah dia diciumi harimau yang jadi tunggangannya tadi. Tanda harimau itu berpamitan dengan dia. Harimau itu menggelicik memasuki kebun jeruk. Dan menghilang. Amalan mantera dia akhiri dengan usiran halus, lalu dia coba memutar pegangan pintu rumah itu. Pintu tak bisa lagi dibuka seperti tadi Gumara puas, karena kini dia kembali menjadi manusia ragawi, nyata, dan terlihat orang. Barulah dia mengetuk pintu. Lelaki yang tadi tidur diambin bambu lalu melihat jam tangan . Tengah malam Ketukan itu didengarnya lagi. Lalu lelaki itu agak kecut bertanya: “Siapa di luar? Ada yang mengetuk?”
“Saya”.
“Siapa?!” agak merinding lelaki tadi berseru gemetar.
“Saya. Guru Gumara”, ujar Gumara
Lelaki tadi agak gentar sejenak. Dia ditugaskan menjadi Guru Matematika di Kumayan karena
alasan bahwa Guru Gumara telah meninggal dunia. Kini ada orang mengaku bernama Gumara?
Orang mati hidup lagi?
Didengarnya lagi ketukan pintu.
Lelaki itu tambah kecut, kendati suaranya lantang membentak: “Siapa di luar!”
“Saya. Guru Gumara”. sahut Gumara.
Lelaki itu jadi ketakutan. Kisah mengenai Guru Gumara sudah hampir jadi dongeng, termasuk
kisah Harwati dan Pita Loka di kawasan Kumayan ini.
“Apa saya tidak salah dengar?” tanya lelaki itu gugup.
“Bukalah dulu pintu ini”, ujar Gumara.
“Tidak, tidak! Saya tidak berani! Saya dengar Bapak sudah ... mati!”. Gumara bersitenang
beberapa saat. Dia tahu dirinya sedang diintip. Dia tidak boleh membuat orang lain takut. “Bukalah. Aku masih hidup. Yang bicara pada anda sekarang ini manusia. Bukan roh. Tapi Gumara, guru SMP Kumayan”, ujar Gumara dangan nada meyakinkan.
Lelaki itu membuka pintu. Wajahnya basah kuyup oleh keringat dingin, pucat dan masih curiga.
Gumara masuk dan berkata: “Jangan takut. Aku bukan mahluk halus, kan ? Siapa namamu? Apa pekerjaanmu?”
“Silahkan duduk, Pak Gumara. Nama saya Alif. Pekerjaan saya guru matematika yang
menggantikan bapak selama Bapak menghilang”, dan Alif pun jadi ramah. Bahkan menawarkan
Gumara makan. Tapi Gumara sedang mengamalkan puasa yang mesti dilakukannya siang malam
bagi pembersihan diri. Alif merupakan manusia pertama yang tak dapat menyembunyikan kegembiraannya karena hadirnya Guru Gumara di desa Kumayan. Setelah disediakannya tempat tidur bagi tamunya, dan dipersilahkannya Gumara beristirahat,
maka guru matematika itu pertamakali memberanikan diri ke luar rumah di tengah malam itu. Yang dia datangi adalah Ki Putih Kelabu, dan langsung memberitakan kedatangan Gumara. Ki Putih Kelabu terdongak demi mendengar kedatangan Gumara.
“Beritakan juga pada Ki Lading Ganda dan semua pendekar di Kumayan ini, nak Alif”. kata Ki Putih Kelabu.
“Sudah lama penduduk Kumayan gusar. Baiklah, akan saya hubungi semua orang”, ujar Guru matematika itu dengan langkah girang meninggalkan rumah pendekar Kelabu itu. Risaunya hati Ki Putih Kelabu terhadap menghilangnya putrinya yang baru kembali, Ki Pita Loka —— bukannya kerisauannya yang besar. Tetapi yang sungguh merisaukannya adalah sebelas
orang anak remaja yang kembali ke Kumayan dalam keadaan tangan buntung. Justru kepergian Ki Pita Loka dengan enam anak remaja buntung lainnya itu seperti diberitakan 11 anak yang pulang, adalah kabar baik. Dia yakin Ki Pita Loka bukan pergi sembarang pergi. Ia pasti pergi untuk suatu maksud besar. Tapi, risaunya bangkit lagi ketika Lambada orang utas yang tangannya dibuntungi sembari dititip pesan: Bahwa penduduk Kumayan akan dihabisi. Tak jelas pula suami isteri Lambada orang utas siapa pengancam itu. Tapi dia sudah dibuntungi sedikit menciptakan keyakinan, bahwa pengancam itu menganut Ilmu Iblis. Kini, Guru Gumara sudah kembali. Harapan Ki Putih Kelabu mulai bersemai di hati. Begitupun Ki Lading Ganda setelah mendapat kabar dari Guru Alif, sedikitnya merasa terhibur. Tapi Ki Lading Ganda maupun Ki Putih Kelabu, pagi hari ketika mendatangi Guru Gumara lantas kecewa. “Tuan adalah Harimau Ketujuh, pendekar pelengkap. Anda yang membuat enam harimau bersatu, dan anda adalah Yang Ketujuh”, ujar Ki Lading Ganda.
“Saya manusia biasa. Saya kesini akan kembali jadi guru biasa, guru sekolah. Jangan sebutkan
diriku Harimau Ketujuh julukan itu terlalu berat bagiku”. Sungguh, kerendahan hati yang menjengkelkan dua guru yang datang. Tiga pendekar harimau yang lain sudah tak bersedia datang karena berpendapat bahwa Gumara dirasakan amat angkuh.
“Jadi anda tetap tidak bersedia jika desa Kumayan akan diobrak-abrrk pengacau?”
“Desa ini kan tersedia sarana keamanan?” kata Gumara.
“Memang sekiranya perampok, maling dan pemberontak yang datang ke sini, polisi kira – kira cukup untuk mengatasinya. Tapi saat ini desa kita justru mau dikacau oleh pemilik ilmu Hitam, ilmu iblis? Kita semua ini, yang merasa diri memiliki ilmu Putih harus turun tangan lebih dulu”. “Saya rasa semua itu baru gertak sambal”, ujar Gumara.
“Ha?” Ki Lading Ganda terdongak.
“Mau bukti?” tanya Ki Putih Kelabu sedikit geram,
“Nah, kalau tuan mau bukti, panggil sebelas remaja di luar itu, dan juga Lambada yang sudah dibuntungi! Ayoh panggil kesini tuan Khatib!” serunya. Tuan Khatib memanggil sebelas anak bertangan buntung. Ketika dilihatnya Lambada si orang utas, dia pun dipanggil Khatib: “Kamu juga, orang utas”.
Sebelas remaja, dan satu orang utas, dihadapkan pada Gumara. Gumara hanya diam. Tapi kendati wajahnya tak ada reaksi, namun keringat yang bermanik - manik dikeningnya itu adalah bukti terperangahnya dia. Dia diam membisu, kemudian berkata: “Aku menyatakan duka dan prihatin atas dibuntunginya lengan adik - adik tak berdosa ini. Mau pun anda, orang utas
Lambada. Tapi siapa di antara kalian yang jadi korban ini yang mengetahui pelaku kekejaman ini?”
“Seorang lelaki”, ujar anak buntung. “Dan kau?” “Juga seorang lelaki”, kata Lambada, “Cuma saya segan untuk menambahkan carita ini”. “Katakan saja padaku”, kata Gumara. “Soalnya dia ada pertalian darah dengan Guru yang dimuliakan di sini, yakni Tuan Guru Karat yang sudah meninggal”, kata orang utas itu.Gumara terdongak. Terbayang olehnya Harwati, adik
tirinya. Dia jadi malu oleh keterangan ini, berdiri tegak dan berkata tenang: “Dia yang dimaksud adalah saudara satu darah denganku. Lain Ibu. Aku meninggalkan Kumayan karena ingin meluruskan jalan ilmunya. Lalu apakah adik perempuanku itu yang memotong dengan Pedang Turki itu?” Orang utas yang digelari Lambada itu menggelengkan kepala. Hal ini membuat semua orang terheran-heran. Gumara lalu mendesak: “Jadi siapa yang memotong lengan anda. Lambada?”
“Lelaki itu!”
“Bukun Ki Harwati dengan pedang Turkinya?”
“Wanita itu tidak punya senjata. Apalagi pedang. Yang memegang golok panjang adalah lelaki itu.”, ujar Lambada.
“Ceritakan pada kami siapa lelaki itu!”
“Tak dia sebut namanya. Saya dipanggil, ditanyakan, lalu dipotong. Dia sepertinya orang gila”, kata Lambada.
“Ini tentu Dasa Laksana”, ujar Gumara.
“Betul, itulah orang menyebut namanya di desa Anggun waktu kami disekap”, kata beberapa anak buntung
“Ada yang lain?” tanya Gumara.
“Ada lagi satu lelaki tua, agak bongkok” Gumara lalu ingat Ki Rotan.
“Baiklah, kini aku tahu bahwa komplotan ilmu Hitam ini adalah Dasa Laksana yang menjadi biang keladinya. Jika adikku sudah tidak memegang senjata sakti Ki Turki itu, ini berarti dia tak memiliki daya apa-apa lagi namun Gumara bertanya sekali lagi pada orang utas itu: “Tuan tidak melihat ada ular Piransa membelit di kening wanita itu?”
“Hanya rambut terjurai, tidak ada apa - apanya”, kata Lambada.
Ki Lading Ganda yang tidak sabar lagi lalu berkata pada Gumara: “Tuan Guru Ketujuh, sekiranya hati tuan tak tergerak, mulut tuan membisu, maka tuan termasuk orang yang tidak berperasaan”. ““Hanya karena adik saya terlibat ya?” tanya Gumara kesal.
“Hanya karena mata tuan buta atas sebelah tangan remaja yang tak berguna lagi, dan satu tangan lelaki utas yang awam yang sudah dikorbankan gerombolan adik tiri tuan”, kata Lading Ganda. Gumara diam. Dia tutupi mukanya entah karena malu.
Tapi kemudian berkata pada yang hadir: “Pulanglah kalian semua ke rumah masing – masing dengan jiwa damai dan berserah pada takdir Tuhan”.
“Kami tak mau!” ujar seorang ibu, “Anakku sudah buntung!”
“Tapi ibu musti tahu, bukanlah saya yang membuntungi tangan putera ibu”.
“Kalau begitu tuan pengecut!” kata ibu itu. Gumara tak merasa perlu menjawab. Dia lalu duduk kembali. Tinjunya dia kepal.
Sementara itu, dimulai oleh Ki Putih Kelabu yang menyatakan pamit, disusul oleh Ki Lading Ganda, lalu satu demi satu penduduk yang berkumpul di pekarangan rumah Gumara yang kini jadi rumah Guru Alif itu, berangkat pergi meninggalka Gumara. Tapi masih ada lagi tiga orang ibu yang tidak bersedia pergi. Satu orang di antaranya minta izin bicara. Gumara pun mempersilahkan. “Saya bukan ibu dari anak yang sebelas. Saya ini ibu anak lelaki Talago biru yang menurut cerita temannya yang lain sudah dipotong tangannya oleh komplotan adik tiri tuan. Dari Ki Putih Kelabu saya sudah diberi jaminan, anakku akan diajari ilmu oleh puteri Pita Loka untuk menuntut bela atas kehormatannya. Kini saya ini wanita, janda, tak punya ilmu dan keberanian. Kalau saya sudah menyatakan kebulatan tekad membela negeri ini dihadapan Ki Putih Kelabu dan Ki Ganda, bagaimana tekad tuan? Saya ingin dengar!” Gumara menyahut singkat: “Saya hormat pada ibu!”
“Tuan tak usah menghormati saya. Lebih baik kambing yang menyatakan hormatnya kepadaku! yang saya ingin dengar sikap tuan!”
“Ibu tak usah mendengarnya. Buat apa saya bicara sekarang, karena nilainya hanyalah angjn, tanpa bukti nyata”, ujar Gumara.
“Mulut tuan cukup bebal. Saya meragukan cerita orang, bahwa tuan ini mewarisi titisan darah Ki Karat yang kami agungkan. Kami juga meragukan jaminan Ki Lading Ganda, bahwa tuan inilah Harimau Ketujuh di Kumayan ini, satu-satunya benteng utama negeri ini dari serangan musuh. Saya kira, tuan memang punya sedikit perasaan. Tapi karena adik tuan yang genit itu, Ki Harwati yang sudah bartekuk lutut pada ilmu Setan, maka pendirian tuan jadi bimbang”.
Gumara diam saja. Telinganya bagai terbakar. Tapi dia dapat mengendalikan kesabarannya!
Malamnya ketika ditawari makan, Gumara berkata pada guru Alif: “Aku malu menikmati hasil ladang penduduk sini. Aku akan pergi cari angin ke luar”. Gumara rupanya secara rahasia menuju Bukit Kumayan.
Di tengah “paku” Bukit Kumayan itu dia duduk bersila. Air matanya bercucuran.
Sunyi alam sekeliling. Burung-burung hantu yang biasanya berdekuk, kelihatannya enggan bersuara.
Juga jangkrik-jangkrik maupun kodok bangkong, enggan untuk memecah kesunyian tengah malam itu. Kadang terdengar deru angin, tapi saat ini angin pun seakan enggan berderu. Cemara-cemara yang susun bersusun di tepi bukit tidak bergoyang pertanda tak ada angin. Tetapi Gumara mendadak menghentikan tangisnya. Ketika telinganya mendengar sejarak tiga
ratus langkah di selatan sepertinya ada orang mendekat. Telinganya jadi tambah tajam ketika dia mendengar bunyi logam bergeser. Lalu hatinya berdetak: “Ini tentulah Lading Ganda. Dialah pemilik satu pedang yang jika dicabut menjadi dua pedang”.
Firasatnya timbul. Lading Ganda akan datang untuk menghabisi jiwanya. Kini berdasarkan ketajaman indera keenamnya, pendengarannya diberitahu bahwa langkah itu semakin dekat, tinggal sekira 100 langkah lagi. Benar, langkah itu cukup cepat untuk menjadi dua puluh satu langkah lagi dari jarak duduk Gumara, lalu berhenti. Gumara membelakang. Dia mendengar suara logam beradu, senjata Ki Lading Ganda.
“Tuan, aku datang untuk menghabisi diri tuan”, terdengar suara. Gumara menghembuskan nafas panjang, amat lama, seakan-akan mengeluarkan semua hawa dalam dirinya. Sedang ketika dia menghelanya lagi, pendek saja, dan hembusannya panjang lagi, hingga menggoyangkan daun-daun kaca piring yang berumpun sekitar 10 langkah dari duduknya. “Tuan, dulu saya berminat mengambilmu mantu. Juga Ki Putih Kelabu. Tapi kedatanganku di sini atas izin Ki Putih Kelabu maupun tiga harimau lainnya. Kami berlima sudah mengucapkan ikrar, bahwa tuan itu manusia tak berguna di Kumayan Ini. Hewan masih lebih berguna dari tuan. Jadi aku diutus untuk menghabisi tuan”.
Gumara tak bergerak sedikitpun. Juga ketika Ki Lading Ganda sudah memulai dengan bunga persilatan, termasuk tempelan kependekaran yang sudah diisikan oleh empat pendekar lainnya. Jadi Ki Lading Ganda sudah berisikan lima jenis persilatan dalam satu diri ! Gumara hanya bergerak sedikit sewaktu satu sabetan lading keramat mau menebas kapalanya,
yaitu gerakan menunduk. Angin dari dua ujung kaki pendekar bergolok itu sempat mendesing di kedua telinga Gumara. Lalu Gumara melihat dua logam tajam berkilau serentak terayun ke arah dirinya, tetapi sebelum membelah kepalanya, Gumara cuma berguling menghindar perlahan. Akibatnya satu tendangan manyamping mengenai bahunya. Tendangan Ki Lading Ganda itu
sedemikian kerasnya, sampai melemparkan tubuh Gumara yang tadinya membulat, membentur dua pohon cemara, dan membuat pohon cemara itu terpotong dua-duanya bagai digergaji rata. Gumara sendiri membinasakan tigabelas pohonan pisang berumpun, dan dia seakan - akan harus menggeletak di atas bantalan pohon pisang yang jadinya berjajar itu.
Ki Lading Ganda tiba-tiba yakin bahwa Gumara hancur karena buktinya dua batang pohon Damara patah terpotong seperti digergaji. “Mampus kau, manusia angkuh!”ujar Ki Lading Ganda mengutuk. Eh tiba - tiba pula muncul dengan sempoyongan Gumara dari balik rumpunan pohon sawo di arah timur. Dia seakan - akan mau menyerahkan diri kepada Ki Lading Ganda. Langkahnya tidak memperlihatkan kesiapan sedikitpun untuk bertarung. Hal ini membuat Ki Lading Ganda menantinya, membuat acuan untuk melakukan lompatan sembari akan menebas perut Gumara. Itu dilakukannya dalam jarak duabelas meter. Dia membuat jungkir balik dua kali sebagai tipuan salto, dan ketika menjungkir yang ketiga kali dia ayunkan dua golok kembarnya itu yang berkilat membabat tubuh Gumara. Tampaknya tubuh itu sudah terbabat, tapi Ki Lading Ganda terheran-
heran mencarinya entah kemana namun tak kelihatan. Meloncat tinggikah dia tadi? Lalu tampak ada orang turun dari pohon aru - aru yang tinggi. Turun begitu saja ibarat turunnya kera pemanjat kelapa yang terlatih. Sebelum orang itu, yang tak lain Gumara, sampai turun benar, maka Ki Lading Ganda ingin mempergunakan kesempatan terbaiknya: Dia nanti dan dua golok kembarnya membabat. Saking kuatnya, golok itu menancap di pohon aru-aru itu, begitu dalamnya. Yang dirasa Ki Lading Ganda ketika di babatkan goloknya itu adalah desingan angin di alas kepalanya. Memang betul. Ki Gumara sudah duduk bersila di tengah “paku” Bukit Kumayan itu. Ki Lading Ganda masih berusaha mencabut goloknya yang menancap. Saking kerasnya tebasan golok dan
tancapannya itu, hingga dua mata golok itu sudah hampir beradu, dalam jarak satu belahan lidi saja lagi! “Maafkan, saya menyusahkan tuan saja”, ujar Gumara, lalu meninggalkan Ki Lading Ganda. Barulah ketika fajar menyingsing Ki Lading Ganda berhasil melepaskan tancapan goloknya, sementara Gumara sudah ngorok di rumah ketika itu ... Dan ketika Gumara tidur nyenyak itulah, dia dibangunkan oleh Guru Alif yang akan pergi mengajar. Ada lima orang tamu penting yang minta bertemu dengan Gumara. “Siapa mereka?” tanya Gumara.
“Selain Ki Lading Ganda dan Ki Putih Kelabu, yang tiga lagi saya tak mengenalinya”, kata Guru Alif.
“Di mana mereka sekarang?” tanya Gumara.
“Semuanya tak bersedia naik. Semuanya di pekarangan”, ujar Guru Alif. Gumara bersitenang sejenak. Lalu dia ke kamar mandi. Dia mencuci muka sejenak. Lalu bersisir merapikan rambut. Kemudian dia membuka pintu depan. Dalam sekelebatan dia tidak heran, di balik tiap rumpunan pohon telah terdengar deru auman harimau. Lima pendekar secara langsung sudah menjelmakan
diri mereka menjadi lima ekor harimau! Gumara sadar, bahwa dia sedang dalam ujian. Dan taruhan! Dia bebaskan dirinya dari sikap jengkel atau bangga. Dia tarik nafasnya dalam-dalam, seakan-akan seluruh nyawanya sudah kosong. Dan ketika dia merasa seluruh dirinya menjadi ringan, dia menuruni tangga rumah sampai ke pelataran tanah, pelataran pekarangan.
Setiba di sana , dia sudah merasa seringan awan bergantung. Dia telah melepaskan dirinya dari seluruh pengertian hayati dan ragani. Ujud raga kasarnya yang terlihat adalah wujud Guru Gumara yang tak meyakinkan sama sekali. Dia melangkah ringan menerobos semak-semak, diiring dari belakang oleh wujud ragani lima ekor harimau. Daun-daun seakan merunduk memberi salam takzim kepada Gumara yang melangkah santai. Kadang memang dia harus menyerempet daun-daun itu, namun “hanya sedikit yang terkibas. Bahkan daun singkong kuning yang sudah siap untuk rontok oleh hembusan angin, ketika tergeser oleh tubuh Gumara yang menyerempetnya, tak jadi gugur ke tanah. Gumara terus melangkah menginjak rumputan yang masih berembun. Tapi rumputan itu seakan-akan tidak meninggalkan bekas telapak kaki Gumara yang baru menginjaknya.
Setiba di tepi Bukit Kumayan, Gumara berhenti sejenak. Lima harimau yang menggiringnya dari belakang pun hati-hati berhenti.
Ada yang mengibaskan ekornya. Ada yang mulai mengaum. Tanda tak sabar. Gumara melirik, dia mengetahui itulah penjelmaan Ki Lading Ganda. Di bawah sana itu, di sudut tiga Bukit Kumayan, kedengaran suara gemericik Pancuran Mayang.
Air terjun itu dikenal tabu oleh penduduk. Tapi Gumara harus ke sana . Ketika langkahnya baru empat puluh kali pijakan menuju bawah itu, harimau yang paling geram aumannya mendadak meloncat ke depan, mencegat, mencekerkan cakarnya pada tanah kucing menggali. Ketegangan amat terasa. Seekor harimau yang lebih lembut gerakannya, dengan tanda khusus putih - putih bergaris di sela abu-abu mencegat pula. Ia tahu, dia ini tak lain pendekar paling disegani: Ki Putih Kelabu. Tiga lainnya pun sudah maju ke depan. Menghadang semuanya Ketika itu Gumara semestinya menampilkan kesejatiannya, menjelmakan
dirinya pula pada kependekaran, melengkapkan yang lima jadi enam. Tapi Gumara Cuma menghentakkan nafas dari ubun kepala ke pusar-pusarnya dangan satu hentakan nafas yang padat. Dirinya melayang melompati lima pendekar yang siap mencegatnya. Dia melayang bagai kapas diterbangkan angin. Satu lompatan layang itu mampu melampaui
jarak 12 meter, lalu turun bagaikan seekor bangau. Dan kakinya menciptakan suara gemericik cipratan air sewaktu sampai di depan Pancuran Mayang. Ketika dia menoleh ke atas bukit sana, yang disaksikannya adalah lima orang pendekar manusia:
Ki Lading Ganda. Ki Putih Kelabu, Ki Rangga dan Ki Zarah dan Ki Lafaz. “Hai tuan-tuan, mari mandi di Pancuran Mayang”, ujar Gumara. Gumara mendengar suara Ki Putih Kelabu yang menyahuti di atas itu: “Tuan muda, ajari kami”.
“Aku hanya mengajak kalian mandi”, sambut Gumara. “Ajari kami mandi”, kata Ki Putih Kelabu.
Gumara hanya menyahuti: “Lihatlah apa yang aku perbuat, dari jauh”.
Gumara menhenyakkan nafasnya dari ubun ke puser, sembari satu tangannya menebas air terjun itu. Lima pendekar menyaksikan air terjun itu terpotong dua. Yang di atas tak lagi mau turun ke bawah, tapi kemudian turun lagi sewaktu Gumara menghela nafasnya dari puser ke ubun kepala. Dia sabet lagi air terjun itu dengan tangan kiri. Kejadiannya sama seperti yang pertama. Seluruh amalan itu dia perlihatkan sebanyak 41 kali. Lima nafas besar di atas melepaskan ketegangan dan kekaguman. BELUM habis lima pendekar menyaksikan pelajaran itu, mereka semua menoleh ke arah suara seorang perempuan minta tolong. Perempuan itu dengan histeris memegang tubuh Ki Lading Ganda yang dia kenal jagoan; “Tuan
guru! Kumayan mandi darah ! banyak orang dibunuh oleh pendekar sinting!” Ki Putih Kelabu kalap, dan menoleh ke pancuran di bawah situ. Ki Lading Ganda malah memanggil ke bawah: “Gumara, bantulah kami!” Tapi guru yang tiga lagi justru melihat Gumara sudah tak berada di Pancuran Mayang sembari tercengang heran. Ya, dia sudah melakukan sebelas lompatan ke atas tanpa diketahui oleh lima pendekar itu, dan kini berhadepan dengan seorang pendekar yang mempermainkan goloknya, seorang wanita berambut sarang laba-laba yang tak lain Harwati yang ketawa cekikikan melulu, dan ... Ki Rotan Sebenarnya baru tiga orang menggelimpang membasahi tanah Kumayan. Mereka terkena golok liar Ki Dasa laksana yang masih menari dengan goloknya. Gumara dalam sekelebatan seakan bagai seekor bangau yang mengibaskan telapak -tangannya ketika golok itu akan menyabet lehernya. Golok itu membal, lalu mata golok itu menghantam tangan Dasa Laksana. Darah manyembur dari pergelangan tangan pendekar sinting itu, dan dia berteriak Mendengar teriak itulah Ki Rotan bangkit dengan kemarahan hebat, menghambur dengan kedua kaki menjepit leher Gumara. Gumara cuma mengangguk sedikit, tapi tubuh Ki Rotan dan jepitan kakinya berbalik lepas, terlempar sekitar sepertiga lapangan bola. Detik itulah Gumara mencengkeram tubuh Ki Harwati yang menjerit histeris, dan berkata: “Ingat siapa dirimu!”
Ki Harwati menguakkan dua tangannya, lalu mundur membuka kuda-kuda. Dengan ayunan kaki ke kiri sekali, lalu kaki kanannya menguak lebar dari tubuhnya menerobos bagaikan seekor buaya menyarang dari bawah. Gumara terkena sabetan kaki adik tirinya itu bagaikan manusia terkena sabetan ekor buaya. Gumara melompat dangan dua tangan mengincar belahan mulut Harwati, ibaratnya pawing buaya menaklukkan buaya. Kendati kaki Harwti berkelabat bagai ekor buaya menyabet, namun
mulutnya sudah dikuak seakan-akan merusak pernafasan. Waktu itulah Ki Rotan menyabet tangan tongkatnya, tapi Gumara sudah menangkis sabetan itu dengan memiringkan tubuh dan tongkat itu terlempar kena telapak kaki Gumara.
Ki Harwati pingsan. Ki Dasa Laksana yang masih melintir bergulingan di tanah menahankan nyeri tangan kirinya yang
hampir buntung itu, begitu melihat Ki Harwati pingsan, lalu melarikan diri. Tapi di mulut jalan sudah muncul lima pendekar utama Kumayan, yang ingin menangkap musuhnya itu hidup-hidup. Melihat keadaannya terkepung, Ki Dasa Laksana menjatuhkan diri
dengan kata-kata sembahan:
“Aku menyerah. Aku akan segera menyingkir!”
Ki Lading Ganda tidak sabaran lagi, lalu dia berkelebat maju satu langkah, mencabut goloknya yang ampuh, dan golok itu menjadi kembar. Dia tancapkan golok kanannya tepat di tangan kiri Dasa Laksana yang baru akan berdiri sembari acukan tangan. Lunaslah tangan kirinya dalam keadaan buntung total. Tetapi dia sempat menyerempet lepas dari kepungan setelah terkena satu tendangan menyamping yang dihantamkan Ki Putih Kelabu, sehingga dia terlempar sejauh 44 depa dan menabrak satu pohon pinang yang roboh seketika. Buah pinang yang lepas dari jurai mengenai kepala Ki Dasa Laksana, yang justru mengisi kekuatan baru bagi pendekar sinting ini. Dengan tangan buntung satu, dia berubah menjadi menggila. Dia membabi buta menyerang siapa saja yang berdiri. Seorang anak kecil terpekik lalu tubuhnya menabrak dinding rumah. Dinding itu hancur dan anak itu mati, ibunya menjerit. Ya ... Dasa Laksana mengamuk bagai seekor babi yang buta. Dia membabi buta menggasak tubuh Gumara tetapi cuma kena srempetannya saja sebab Gumara mengelak sembari mengelak pula menangkis pukulan
gandengan tinju sekeras batu yang dilampiaskan Harwati. Tinju Harwati mengenai batu kilo meter, dan batu itu hancur bagai es kena palu pembelah. Harwati bertambah semangat ketika dilihatnya Data Laksana dengan tangan buntung menyerang
membabi buta, saking butanya serangannya mendongkak tubuh Ki Rotan yang mental ke udara. Tapi dia sempat sadar, sebab menjelang kakinya jatuh ke tanah, sempat menyabet leher Gumara, yang tunduk hingga Ki Rotan jumpalitan. Ki Lading Ganda kini masuk dengan penasaran. Hanya kilatan goloknya saja yang tampak karena cepatnya permainan silatnya.
Tapi belum satupun pukulan goloknya yang tepat. Dua kepal daging paha Ki Rotan tercubit oleh golok, lalu Ki Rotan lari. Serasa hanya beberapa menit saja perkelahian itu seluruhnya, lalu ... sepi sekitar. Sungguh dahsyat. Sungguh, jika dilihat begitu banyaknya debu sekeliling lapangan perkelahian yang barusan berlalu .... dan bagaimana begitu lama debu itu turun, itulah bukti nyata. Betapa lama dahsyatnya pertempuran yang barusan berlalu. Kependekaran kadang - kadang disertai kelicikan juga. Tapi Gumara tidaklah kaget seperti kagetnya Ki Lading Ganda sewaktu usai perkelahian tidak menyaksikan bagaimana caranya Ki Harwati, Ki Rotan dan Dasa Laksana melarikan diri. Lima pendekar itu semuanya cemas. Tapi Gumara tidak. Dia seakan-akan sudah mengetahui kemana mereka itu melarikan diri. “Kita akan tenteram selama 100 hari”, ujarnya. Ki Putih Kelabu yang paling yakin pada ucapan Gumara. Dia mendekati pendekar yang teramat tenang itu, dan bertanya “Apakah ramalan anda ini didapat dari mimpi?” “Ya” sahut Gumara. “Kalau begitu saya tambah yakin, Ki Guru berkata benar, bahwa dalam kurun waktu 100 hari desa Kumayan akan tenteram. Sebetulnya saya ingin bicara empat mata saja dengan Ki Gumara”, ujar Ki Putih Kelabu. Ki Lading Ganda cepat memotong: “Jika demikian saya akan mengundurkan diri bersama teman- teman. Oh ya, saya minta maaf atas kelancangan saya pada Tuan Guru Muda Gumara”. Mereka berpelukan. Setelah Ki Lading Ganda pergi, Ki Putih Kelabu berkata pada Gumara: “Tuan Guru. Saya ingin mengundang anda makan malam di rumah saya. Itulah yang akan saya sampaikan empat mata”.
“Baik. Pak. Saya akan datang setelah mahgrib”, ujar Gumara.
Gumara lalu pamitan, dan dia melangkah menuju sekolah SMP, bekas tempat dia mengajar. Di sekolah itu, tiada lagi bekas muridnya. Gumara mengetuk pintu ruang Dewan Guru, dan beberapa orang guru lama yang dia kenal menyambutnya. Tapi tidak ada seorang pun yang menanyakan soal kepergiannya yang misterius. Dan tidak pula ada yang berbasa basi kepadanya untuk kembali mengajar di SMP itu. Karena itu Gumara pula yang memulai: “Saya rindu berdiri di depan kelas kembali. Permohonan saya untuk mengajar, belum saya ajukan. Tapi apakah Kanwil disini kira - kira bersedia menerima saya kembali?”
Menyela Direktur SMP Kumayan: “Sebaiknya melamar mengajar matematika di SMA saja, yang baru akan diresmikan tak lama lagi” “.
“Sepertinya akan sulit. Kepergian saya tanpa izin. Tapi keinginan saya yang sesungguhnya justru mengajar di SMP ini. Apa Pak Direktur punya salinan berkas saya diberhentikan?”
“Sabaiknya ditanyakan pada Pak Kakanwil. Beliau lebih tahu”, kata Pak Direktur.
Lalu Gumara pamit dengan sopan. Diluar dugaan, di kantor Kanwil dia disambut hangat. Namun bukan sebagai guru SMP. Dia disambut karena sudah tersiar berita dari mulut ke mulut, bahwa dekat lapangan Bukit Kumayan barusan saja Guru Gumara menumpas pengacau. “Itu soal kebetulan, Pak Kakanwil”, ujar Gumara, “Setiap munculnya kekacauan, pasti akan muncul pula orang yang menertibkannya. Yang saya urus sekarang ini ke sini, soal status saya sebagai guru SMP Kumayan. Apakah saya sudah dipecat?”
“Saya sulit melindungi anda, Pak Gumara. Soalnya pemberhentian anda itu karena kurangnya anda menegakkan displin guru. Tiga Tahun lebih tanpa memberitahu anda ke mana, cukup merepotkan kami membela anda ketika Inspektur SMP datang ke Kumayan ini melakukan inspeksi, jadi posisi saya pun sulit”. Mendadak muncul seorang anak muda buntung, tangan menyerobot masuk: “Guru Gumara ada di sini, Pak?” “Saya Guru Gumara. Adik perlu apa?”
“Orang bilang, keadaan desa Kumayan akan tenteram 100 hari Apa betul itu, Pak?” tanya anak buntung itu. Gumara lebih tertarik melihat tangan buntung itu. Diraihnya bahu anak itu, dielusnya tangan butung itu. Dan bertanya: “Musibah apa yang menyebabkan tanganmu begini?” “Kami semuanya 17 orang mengalami musibah “, kata anak itu.
“Siapa namamu?”
“Makara, Pak”.
“Mana temanmu yang 16 orang lagi?” tanya Gumara.
“Kami yang kembali ke Kumayan cuma 11 orang”, kata Makara.
“Lalu yang enam lagi kemana ? “ tanya Gumara.
“Mereka diajak oleh puteri Ki Putih Kelabu entah ke mana, Pak!”
Gumara lalu menepuk bahu Makara dan berkata; “Kamu beruntung pulang ke Kumayan. Jadi bisa melanjutkan sekolah. Masih sekolah kan ?”
“Masih, Pak Tapi sekarang menulis dangan tangan kiri karena buntung. Tapi kami 11 orang dianggap jagoan di Kumayan ini, Pak”
“Ingatlah, jagoan hari ini belum tentu jagoan esok hari. Karena mungkin besok akan ada jagoan yang lebih jago. Tapi sejago-jago ayam jago, masih kalah dengan ayam betina. Ayam jago hanya menyumbangkan dagingnya, tapi ayam betina menyumbangkan dagingnya dan telur-telurnya bagi manusia. Nah, jangan kamu pikirkan lagi soal desa Kumayan. Dan jangan sekali-kali menganggap aku ini jagoan” Tetapi anak itu puas karena telah bertemu dengan seorang “pahlawan Kumayan” yang sudah jadi cerita dari mulut ke mulut sebab sudah mengusir tiga pengacau. Tapi hari itu sampai magrib Gumara diliputi perenungan. Tentu tidak lain dia merenungi nasib  Pita Loka yang pasti sebentar lagi akan ditanya oleh Ki Putih Kelabu. Ketika dia memasuki rumah Ki Putih Kelabu, dia merasakan ada satu tenaga, yang mirip kekuatan magnit. Di cobanya melayani tenaga itu dengan perlawanan nafas, tapi rasanya kekuatannya jauh besar. Langkah Gumara dirasanya berat sewaktu masuk ke ruang tamu. Ki Putih Kelabu belum nampak. Tapi dia sudah yakin, bahwa kekuatan magnit tadi bukannya dikirimkan oleh Ki Putih Kelabu. Orangtua itu bukan guru yang jahat yang punya kesukaan mencoba – cobakan.  Begitu Ki Putih Kelabu muncul, Gumara sudah duduk bersila di lantai yang dilapisi tikar rotan Bugis. “Apa yang tuan rasakan saat ini?” tanya Ki Putih Kelabu. Gumara hanya diam saja, sebab dia sedang melayani semacam serangan gaib entah dari mana.
“Apa tuan merasa ada kelainan?” tanya Ki Putih Kelabu. Gumara cuma mengangguk. Dia tidak akan bicara. Sebelum jelas siapa ssbenarnya di balik serangan berkekuatan magnit ini.
“Kalau begitu, apa yang anda rasakan tentu saya rasakan juga. Rasanya tengkuk saya ini berat
sekarang”. Ujar Ki Putih Kelabu dan lalu bertanya pada Gumara: “Anda juga merasakan tengkuk berat?”
Gumara mengangguk. Lalu Ki Putih Kelabu bertanya lagi:
“Ada semacam bau wangi?”
Juga Gumara mengangguk. “Apa guru mau pindah tempat duduk?” tanya Ki Putih Kelabu seraya menunjuk ke tempat dimaksud. Yaitu tempat yang menghadap ke pintu. Gumara menggelengkan kepala, menolak. “Tadi langkah kaki saya berat sekali, seperti digantung besi”, ujar Ki Putih Kelabu, lalu bertanya: “Anda juga merasa begitu waktu masuk ke sini?”
Gumara mengangguk.
“Wah. ini harus kita lawan”, kata Ki Putih Kelabu.
Gumara tidak memberi reaksi. Dia tiba-tiba merasa ada benda yang berat menghimpit kepalanya, sepertinya piring raksasa. Gumara mengatur pernafasan! Gumara mencoba memenuhi isi lambung dengan tarikan kepusar, dan kemudian manyalurkan gelombang udara itu merambat urat - urat darah ka atas, menuju ubun kepala. Ketika tiba di ubun kepala, Gumara seperti memompa ke luar udara gelombang tadi. Wajah Gumara bercucuran keringat. Keringat itu semakin menderas. Ubun kepala Gumara seperti mendidih, Ki Putih Kelabu melihat asap atau uap yang mengepul di ubun kepala Gumara. Tiba-tiba tampak ada semacam kilat yang melesat dari kepala Gumara. Lalu loteng yang terbuat dari papan kepayau itupun berlobang. Gumara waspada tidak menghentikan pangaturan nafasnya, ada gelombang di lambung bisa terus dihalau ke ubun kepala. Kelihatan lagi oleh Ki Putih Kelabu satu bundaran bagai kilat melesat. Bila benda itu membentur loteng kayu kepayau, tampak loteng itu berlubang. Kini Gumara benar - benar bermandi keringat. Benda yang bertengger di ubun kepalanya itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya, sehingga tanpa disadari Gumara terpaksa minta  bantuan ke dua belah lengannya. Tinju dia genggam. Tinju itu sejak ditaruh di dua dengkulnya sudah dicobanya berisi kekuatan pembantu. Kini, sembari bersila itu, Gumara mengumpulkan kekuatan pada dua ujung tinju itu. Tinju itu didorongnya ke depan, ke samping, ke bawah, dan kemudian dua tinju itu menghantam ke atas, tepat di depan batang hidungnya sendiri. Tinju itu mengenai satu benda yang menciptakan bunyi logam, tapi logamnya tak tampak. Namun kilatan cahaya yang melesat ke loteng cukup tegas. Loteng itu hancur. Dan dalam keadaan bersila, mengepal tinju. Gumara menganggap serangan musuh tak dikenal itu sudah berakhir. Ki putih kelabu yang selama terjadinya serangan tanpa raga itu begitu tegang, kini tampak tenang.
“Maaf, saya akan pamitan dulu”, ujar Gumara.
“Jangan, nak”.
“Sekali lagi, maaf”, ujar Gumara, dari bersila langsung berdiri.
“Saya ingin tahu siapa penyerang tadi?”
“Murid iblis”, kata Gumara.
Lalu dia memberi salam pada Ki Putih Kelabu, dengan cara penghormatan yang luar biasa
hebatnya. Telapak tangannya dia tempel ke kening, lalu merendahkan kepala, lalu berlalu.
Dan telapak tangan yang menempel di kening itu baru dia lepas dari keningnya setelah dia tiba di pekarangan. Jalan kecil menuju rumahnya lengang, Gumara melangkah dengan perlahan dan semakin perlahan. Sebab kakinya seperti diberati lagi. Gumara mencoba melangkah, semakin tebal rasanya tapak kakinya. Dan Gumara kini memutuskan untuk meladeni gangguan lawan, sekali lagi! Dalam berdiri itu Gumara menggenggam dua tinjunya. Lalu tinju itu dibuang kesamping kiri dan ke kanan. Dan bergantian, tinju kanan dan kiri menebah dada. Delapan kali debahan dada kiri dan kanan, Gumara tiba-tiba melihat satu lesatan sinar menuju ke arah mukanya, tapi cepat Gumara menangkisnya dengan dua tinjunya terhantamkan ke depan. Bunyi logam berdenting disertai kilatan sinar yang melesat berjumpalitan di udara. Di udara dia menjadi semacam kepulan asap ledakan. Dan ketika mata kanan Gumara melihat ada sinar menyerang dari kanan, Gumara menangkisnya dengan tinju dan kedengaran bunyi logam disertai kilat melesat ke udara. Lalu di udara tampak asap bagai kembang api pecah. Lalu datang lagi serangan dari kiri. Bunyi logam membentur kedengaran tepat ketika tinju tangan kiri Gumara dia buang ke kiri. Tanpa perduli dia kemudian meneruskan langkah yang ringan. Sampailah dia di pekarangan rumah yang ditempati Alif. Begitu akan masuk pekarangan. belum lagi sampai di tangga, Gumara melihat sosok berdiri di hadapannya, dalam jarak tiga meter, seperti mencegat. Sosok itu diam berdiri. Gumara pun mengambil posisi diam berdiri. Gumara mengepal tinju. Lawannya pun mengepal tinju. Gumara mengangkat dua tinjunya, lalu menebah tinju itu ke dada. Lawannya itu pun berbuat sama. Gumara memekarkan tinjunya, lawannya pun demikian. Jari-Jari mekar itu kemudian merambat dari paha, naik ke dada lalu dia buang ke depan. Di sini lawannya pun melakukan hal sama. Bahkan ketika sama - sama membuang telapak tangan ke depan, dua telapak tangan itu seakan – akan hampir saling menempel. Jarak dua telapak tangan yang hampir menempel itu hanya berjarak tiga centimeter saja. Tapi apakah yang sedang terjadi? Telapak tangan Gumara, maupun telapak tangan lawannya, sama-sama mengeluarkan keringat. Sama-sama keringat menetes. Bahkan kadang diseling oleh pijaran api. Gumara masih barada dalam hembusan satu helai nafas yang secara berangsur dikeluarkannya sedikit - sedikit Dia hematkan energi untuk mengangsur satu nafas itu agar tidak terlanjur terhambur. Wajah Gumara mulai mandi sinar kehijauan karena percikan keringat. Begitupun lawannya. Sehingga makin lama semakin jelas siapakah lawannya itu. Lama kelamaan wajah itu berupa wajah Ki Karat, ayah kandungnya sendiri. Tapi Gumara tidak tergoda untuk berseru setelah mengenal wajah itu, sebab dia kuatir itu cumalah godaan belaka. Dia terus mengontrol nafasnya, yang tiap per 1000 detik adalah pancaran kekuatan cahaya. Gumara tahu,dirinya dipenuhi mega elektro magnetik, yang demikian dahsyatnya, yang jika ditempelkan neon sekian ribu watt maka cahayanya akan menerangi seluruh desa Kumayan. Makin lama, yang dia kira lawannya, semakin jelas kehijauan, dan, dan, dan itu tak lain adalah ayahnya. Makin lama wajah ayahnya semakin nyata. Jika benar ini ayah, tentu ayah sedang mambuktikan dirinya sebagai lawan, bukan sebagai guru. Kekuatan yang dikirimkan ayah lewat gelombang sinar radiasi ini pun tampaknya tak tanggung-tanggung. Kekuatan begini, jika tak teliti, bisa membunuh. Gumara ingin memperingatkan ayahnya yang sudah mati itu, tapi dia sudah yakin. Ilham seakan datang arwah ayahnya sedang murka, khusus datang dalam alam kematian barzah ke bumi nyata ini, untuk suatu peringatan. Tapi aneh, lama kelamaan lawannya ini melemah dan melemah. Di tepi tebing dibalik lembah Air terjun Mayang, di malam gulita itu Harwati membanting tubuhnya ke permukaan makam. Makam itu mengepulkan asap. Ki Harwati putus asa. Matanya terbeliak nanar, menatap Ki Rotan yang kelihatan tegang. Ki Rotan bertanya : “Gagalkah roh Ki Karat membantumu?”
“Asap itu sebagai bukti”, ujar Ki Harwati.
“Aku memang menduga begitu. Betapapun hebatnya ilmu Ki Karat, mungkin masih lebih tinggi ilmu Ki Gumara. Selain itu, roh guru yang sudah mati tentu lebih rendah dari roh guru yang masih hidup”. Ki Harwati merangkul lagi makam ayahnya. Dan asap itu makin lama semakin menghilang. Yang tinggal hanyalah bau menyan. Tiba-tiba saja, dalam putus asa itu, Ki Harwati melihat ada benda kecil bergerak. Ternyata seekor kalajengking sedang merayap dari arah batu nisan pekuburan Ki Karat. Ki Rotan setengah berseru:”Itu dia bantuan baru ayahmu!”
Kalajengking itu merayap perlahan, lalu menyusul satu kalajengking lagi dan satu kalajengking lagi, kemudian puluhan dan ratusan kalajengking sudah mengerubungi permukaan kuburan Guru yang sudah mati itu. Ki Harwati mencoba menahan ketegangan dan kegembiraan. Ketika Ki Rotan mau berkata, dia memberi larangan:
“Jangan ganggu aku, Ki Rotan”.
Kalajengking itu sudah merayap dengan ramah melalui paha Harwati, terus berlomba menaiki dada dan punggungnya, lehernya, kemudian memenuhi rambut dan mukanya. Ki Rotan tambah tegang karena tidak memahami apa yang akan terjadi selanjutnya. Seluruh wajah Harwati sudah tertutup oleh Kalajengking. Dia kelihatan begitu mengerikan. Dia seakan menanti isyarat roh ayahnya, apa maksud dari “Kiriman kalajengking” ini. Lalu muncullah isyarat itu! Harwati seakan-akan diharuskan berdiri, sepertinya harus bangkit dari perasaan kalah dan putus asa. Dia kemudian melangkah lebih tegap tanpa menghiraukan pertanyaan-pertanyaan Ki Rotan yang kebingungan. Dan dengan digayuti ribuan kalajengking itu, Ki Harwati agaknya dituntun ke arah Barat, ia menuju ke air terjun Mayang yang dianggap tabu mendatanginya kecuali atas izin. Ketika Ki Rotan ingin memanfaatkan kesempatan ini dengan membuntuti Ki Harwati dari belakang, dia agak kaget. Sebab Ki Harwati berhenti mendadak, dan membalik ke arahnya. Lalu beberapa ekor kalajengking yang bergayutan turun dari tubuh Ki Harwati. Binatang-binatang mengerikan ini menjalar seakan mau menyerbu Ki Rotan. Ki Rotan mundur dengan panik, tapi dia tidak melihat pada jurang belakangnya. Yang kedengaran kemudian adalah teriakan Ki Rotan yang melolong memecah malam gulita. Dia terjatuh ke jurang di bawah itu. Dan Ki Harwati malanjutkan melangkah ke tujuannya setelah bebarapa ekor kalajengking itu kembali bergayutan ke tubuhnya. Ki Harwati tiba di air terjun Mayang menjelang terbitnya matahari. Di sini rupanya dia harus mandi mensucikan diri bersama ribuan kalajengking itu. Tubuh Ki Harwati menggigil. Dan dia merasakan sesuatu kekuatan yang maha hebat ketika tubuhnya itu, tanpa terasa, telah menyelusup secara ajaib sekali ribuan kalajengking itu .... seluruhnya seperti merayap ke dalam darahnya, dan dia merasakan ada kekuatan dahsyat yang sedang memasuki tubuhnya. Tapi, beginilah rupanya seorang pendekar yang sedang kehilangan guru. Dia tidak tahu apa yang  mesti diperbuatnya ketika tiba-tiba muncul satu tenaga yang membuat dia jumpalitan diantara batu-batuan itu, lalu ....... meloncat keatas dan hinggap di tepi tebing. Lalu seluruh geraknya bagai spiral angin puyuh. Beberapa pohonan terpaksa menyerah roboh apabila terkena tubuhnya yang melesat hebat. Tidak satu mahkluk pun dapat mengetahui kemana tujuannya. Hanya matahari cerah yang memberitahukan dimana kemudian Harwati berada. Dia sendiri tidak mengetahui dimana dia berada, apabila dia tidak bertemu secara mengejutkan dengan seorang pendekar muda. Pendekar muda itu bertangan buntung. Dia terkejut mendapatkan seorang wanita beringas yang seperti menancap mendadak berdiri dihadapannya.
“Siapa kau!” bentak Ki Harwati pada pemuda buntung itu.
“Aku Talago biru”, ujar pemuda buntung itu.
“Ikut aku!” perintah Ki Harwati
“Tidak, tidak, ..... saya tidak akan mengikuti anda. Anda bukan guru saya!”
Ki Harwati penasaran dan menghampiri pemuda buntung itu dengan sikap mengancam:
“Kalau begitu sebutkan guru kau.Dan hadapkan padaku!”
Talago biru dengan tenang menatap pada Ki Harwati. Dia tidak tahu persis siapa sebenarnya pendekar yang beringas ini. Pengalamannya selama berguru kepada Ki Pita Loka tidak pernahmendapatkan pelajaran untuk menggertak. Tapi kini? dia Temukan pendekar beringas yang masuk dengan gertakan, “Katakan siapa Gurumu, Buntung!” bentak Ki Harwati. “Itu bukan cara yang terhormat. Anda tidak usah berharap menemui dia sebelum anda melewati mayat saya”, ujar Talago biru. Ki Harwati bertambah beringas, dan serta mena dihantamnya muka Talago biru. Anak muda itu terbengong sejenak. Tinju yang mendarat dimukanya mirip sengatan binatang berbisa. Seketika wajahnya memar, membengkak dan tiba-tiba saja dia merasa amat haus. Talago biru dalam sekejap seperti edan, karena dia haus dan panas. Dia butuh air. Tetapdia selalu ingat, pantangan-pantangan yang pernah diajarkan Ki Pita Loka. Jika dia haus dan panas oleh sengatan binatang berbisa, dia bukan mencari air. Tetapi dia harus menciptakan api dan membakar diri ke dalam api. Dalam kaadaan jumpalitan seperti edan itu, Harwati mentertawakannya. Tapi batu yang dia pukul berkali-kali itu adalah usahanya menciptakan api. Benar. Pukulan terkeras pada batu itu membuat nyala api, yang segera menyambar ilalang.Batang kering itu terbakar. Dan ketika itulah Talago biru menghamburkan tubuhnya ke dalam ilalang yang terbakar itu!
“Pedekar gila kau!” teriak Harwati melihat pemuda buntung itu terkurung dalam ilalang yang menyala. Tapi,seteleh api itu padam, Harwati melihat keajaiban. Diantara hitamnya asap bekas api yang hampir padam itu, dia melihat sosok pemuda bunting tadi, keras dan menakutkan melangkah tegap kearahnya, lalu meludah dangan semburan.
Semburan ludah itu mengenai wajah Ki Harwati. Mulanya dia akan ngamuk, tetapi kemudian dia merasa ada beberapa benda yang menyangkut di wajahnya, bersama-sama dengan ludah itu. Ternyata bersama ludah yang disemburkan pendekar buntung itu adalah bangkai lima ekor kalajengking. “Sungguh ilmu anda rendah sekali, pendekar!” ujar Talago biru.
“Kalau demikian saya perlu belajar pada anda, anak muda!”
“Anda sudah menghabiskan usia anda. Anda tidak layak untuk diajak bicara”, kata Talago biru, yang berkelebat menyusup semak secara mencengangkan, Harwati berusaha mengejarnya, Tapi dia gagal. Talago biru dengan pelajaran terakhirnya untuk berkelebat cepat telah tiba di padepokan Tujuh Bidadari. Dia dapati Ki Pita Loka sedang bersemedi, sedangkan sejenak lagi hari pun akan jadimalam Talago biru harus menanti sampai semedi itu selesai. Begitu semadi itu selesai Ki Pita Loka menoleh ke arah Talago biru dan bertanya: “ Sudahkah kau lakukan apa yang saya perintahkan ?” “Belum “, sahut Talago biru. “Belum? Saya yakin sudah. Kau sudah pada tingkatan ilmu yang lebih tinggi. Yaitu braja-geni kokoh perkasa di sulut api !”
Talago biru tercengang. Dia berkata:”Itukah yang tuan Guru maksud kan ?”
“Itulah semuanya! Kau diserang musuh yang menyimpan ilmu barzah, kau disengat oleh
binatang peliharaannya berupa jin menyerupai binatang menyengat, lalu kau terkena bisa yang mengakibatkan panas dan haus. Lalu kau pukul batu dekat ilalang. Lalu terbitlah api yang membakar. Dan kau terjun ke api itu sesuai perintahku. Lalu kau selamat”
Talago biru tercengang. Dengan nada lugu dia berseru:” Rasanya yang saya alami tadi adalah
pendekar dan musuh yang mengerikan”.
“Dia sedang mengalami terus alam kemasukan. Tahukah kamu siapa dia ?” tanya Ki Pita Loka.
“Saya tak tahu. Dia beringas dan cukup mengerikan!”.
“Dialah Ki Harwati, sekutu dari pendekar Ki Dasa Laksana yang telah membuntungi tanganmu buntung. Di kawasan ini ada tiga pendekar liar, yang semuanya kehilangan guru karena rakusnya pada ilmu. Tapi pendekar wanita yang kamu temui itu kelak akan merupakan lawan kita yang tangguh. Kini ketiganya berpencar karena masing-masing tanpa ikatan ikrar dan semuanya kehilangan mata angin. Kau harus tahu, muridku, pendekar yang baik adalah yang tahu mata angin”. “Terima kasih, Tuan Guru”, ujar Talago biru. “Sebelum datang bencana, aku akan titiskan ke tubuhmu Kitab Pertama dari tujuh buah yang sedang kita cari”. kata Ki Pita Loka.
“Berikan ilmu itu padaku, Ki Guru!” “Pergilah mandi dengan bunga mayat”“, ujar Ki Pita Loka, “Nanti setelah selsai, kau harus datang ke Padepokan dengan selembar kain yang tanpa
jahitan”. Tubuh talago biru benar-benar memperlihatkan tubuh lelaki jantan yang perkasa dan kekar. Usianya yang enam belas tahun sepertinya tidak sesuai dengan bentuknya, karena ia lebih tepat jika dijuluki kuda. Kakinya, badannya, lengannya, kepalanya, hanya bisa ditandingi oleh bentuk kuda jantan. Terlebih ketika Talago biru harus mandi telanjang, dan membersihkan seluruh kotoran tubuhnya itu dengan air bunga mayat, maka siapapun yang melihatnya, termasuk lelaki (apalagi wanita)akan terkesan pada bentuk otot tubuhnya itu, mulai dari kaki sampai leher. Ketika itu pulalah Ki Harwati tergiur dari balik semak pohon bambu tulup. Apalagi sinar matahari terbenam seperti menyinari cahaya ke tubuh Talago biru, sehingga lekukan otot perkasa itu seakan-akan mampu memberi rangsang pada 10 wanita secara serempak. Ki Harwati kehilangan tujuan, kehilangan mata angin.Dia sebetulnya sudah tidak sabaran lagi sampai Talago biru mengenakan selembar pakaian lebar, yang seteteh digulung-gulung mirip seperti pendeta Budha. Tapi, begitu Talago biru akan meninggalkan pancuran mandi itu, dia sekelebat melihat sosok di balik rumpun bambu tulup. Dia terpana beberapa saat karena rasa-rasanya dia mengenal manusia itu , termasuk pakaian hitam yang dikena-kannya. Namun dia melangkah terus. Tapi dia kena cegat.
Ki Harwati telah berdiri di situ, dan berkata: “Kamu benar - benar salinan dari Gumara”.
“Anda siapa?”
“Aku dilahirkan untuk kaGuru kepada pendekar yang bernama Gumara. Kenalkah kau?”
“Belum”, sahut Talago Biru.
“Engkau rugi. Dia adalah pendekar merangkap Guru dari semua guru yang membentang dari kawasan Kumayan sampai Bukit Lebah di selatan. Man bersamaku menghadap beliau”. Talago Biru tergoda oleh buah dada yang jelas kelihatan, sewaktu wanita ttu menyediakan diri membuang sehelai daun bambu kering yang menyela pada jari kaki Talago. Kemudian Talago Biru terpesona sewaktu jari wanita itu meraba betisnya, seakan-akan menyelusupi bulu kakinya. Harwati terus meraba semakin ke atas. Talago Biru semakin berdiam diri dan dalam ketegangan lelaki yang amat sangat, dia seakan-akan melayang dalam
kenikmatan, yang dalam sekejap mata membuat dia terhambur dengan berkelebat sambil berseru: “Celaka aku! Celaka aku!” Dia menumpas setiap pohonan yang menghalanginya sewaktu dia berlari seperti seorang yang merasa salah. Dengan wajah yang masih dirundung rasa dosa, Talago Biru sampai ke tempat semedi Ki Pita Loka. Namun dia tidak berani masuk.
Tapi didengarnya suara sang guru dari dalam: “Kamukah itu, Talago Biru?”
“Ya, Tuan Guru”.
“Kamu tidak kuperkenankan bertemu denganku selama 21 hari”, ujar Ki Pita Loka, “Karena di
sekitar tempatku ini aku merasakan bau air mani yang basi yang membuat aku hampir muntah”. Belum pernah dia dimaki dengan ucapan lembut namun melukai ini. Mendadak saja Talago Biru tidak akan menjadikan dirinya pemimpin dari lima temannya yang lain. Yang selama ini lamban dalam kemajuan memperdalam ilmu. Mendadak saja Talago Biru teringat pada wanita jelita di sana tadi, lalu terangkum kembali ucapan wanita itu. Bahwa guru dari segala Guru adalah Gumara.
Seingat Talago, tak jauh dan pancuran mandi itu ada gundukan 17 buah batu besar, yang bentuknya mirip sebuah guha. Dia yakin, tentu wanita tadi ada di guha itu. Lalu secara rahasia dia susuri lebih dulu pancuran mandi. Dengan berkelebat langkah belalang, dia sudah tiba di depan pintu guha. “Ada orang di dalam?” tanya Talago Biru. Harwati mandengar suara itu. Dia yakin itu suara lelaki. Dan ketika dia berlompatan mendapatkannya, sungguh benar, yang heran dihadapannya adalah lelaki dengan bentuk kuda jantan. “Aku ke sini karena sudah kena kutuk oleh guruku?” kata Talago. “Maka sudah waktunya kau kubantu. Tapi kenalkan kepadaku siapa gurumu itu”, kata Ki Harwati dengan membujuk yang disertai jarinya yang meraba bulu dada Talago Biru. Anehnya, ketika dia akan menyebut nama Ki Pita Loka, ketika itu pulalah Talago menjadi seperti lupa, dan lidahnya pun kelu. “Jika sekarang kau tidak bersedia, nanti jika lelahmu telah kuakhiri tentu kau akan sudi menyebut namanya”, kata Harwati yang membawa masuk pemuda kekar itu ke dalam guha. Ki pita loka memang sedang disiapkan untuk menjadi seorang Guru yang sejati. Guru sejati adalah pendekar lahir dan batin yang dapat menangkap sepak terjang musuh tapi juga dapat
mendengar bisik angin. Dan Guru yang sempurna karena dapat menangkap gerak ketiga yaitu gerak kosong. Kini, dalam semedi yang kusyuk sekarang ini, Ki Pita Loka dapat menangkap gerak kosong itu. Tak ada isyarat. Kecuali itu keyakinan akan sesuatu. Yang telah terjadi dan akan terjadi. Ia seperti berkata pada dirinya sendiri seketika musuh menangkap gerak kosong itu: Lima muridku diperangkap musuh. Kini satu lagi muridku diperangkap musuh. Namun ini bukan sebuah musibah kekeliruanku menafsirkan pertamakali, bahwa KitabTujuh yang kucari akan diwariskan pada 7 orang: aku dan enam muridku”. Setelah dia diam sejenak, lalu dia menafsirkan gerak kosong ini lagi: “Kenapa harus berdukacita kehilangan enam murid? Bukankah dengan memiliki satu buku sekarang ini, aku akan mewariskan enam buku lagi?” Pita Loka merasa matanya berat. Dalam duduk bersila itu dia sebenarnya sedang tidur. Tidur seperti manusia sedang mati duduk. Dan rupanya dia mendapatkan mimpi! Mimpi itu amat luar biasa. Dia melihat enam buah bintang jatuh pada sebuah bukit yang dia rasanya kenal. Dan keenam tahi bintang itu ditelan oleh seekor harimau yang punya garis bulu 41 bulatan.  Lalu Ki Pita Loka terbangun.
Malam sudah menjelang tibanya fajar meyingsing di ufuk timur. Pita Loka masih duduk bersila, memikirkan makna mimpi hebat itu. Lalu dia teringat seorang Guru penafsir mimpi yang jago. Dia adalah Guru Gumara. Rupanya ingatan pada Gumara inilah menuntun Ki Pita Loka untuk menafsirkan mimpi yang baru terjadi. Baru dia ingat.
Bukit yang ada di mimpi itu adalah Bukit Kumayan. Kalau demikian: “Tafsir mimpi itu adalah,enam bintang jatuh diterima olah salah satu dari harimau-harimau Kumayan. Ki Pita Loka mencoba mempedalam tafsir mimpinya tadi. Bukankah itu berarti, aku harus merebut enam bintang itu dari jagoan Kumayan? Enam bintang itu pastilah enam dari tujuh Kitab Sakti itu, tentunya! Kini, tinggal lagi bagaimana melaksanakan mimpi itu. Dibukanya Kitab Pertama yang telah menjadi miliknya sekarang. Dia membaca huruf-huruf kuno gundul tak bertanda. Tapi dia mengerti. Dan dia telah amalkan tiap tafsiran dalam Kitab itu, mulai dari pensucian diri, latihan gerak bayi dalam rahim ibu sampai gerak bayi keluar dari kandungan serta teriakan pertama. Penutup keterangan Kitab Pertama itu adalah kalimat yang hampir sulit terbaca saking kunonya; “Kitab Pertama ini harus diamalkan, dan dia disebut juga  Kitab Asal. Apabila pemegang Kitab ini sudah menyempurnakan amalnya, maka dia mempunyai kewajiban yang akan diamalkannya berikutnya setelah melewati satu mimpi di waktu dini hari. Kini tergantung si Pemlik Kitab ini, apakah dia melakonkan tafsir mimpi itu dengan betul dan baik, sebab kesalahan langkah akan menjadi sebuah musibah”.
Ki Pita Loka menutup Kitab Pertama itu. Dia kembali menggulungrya dengan bungkusan berupa kain kuning. Kitab itu sesuai dengan pesan, harus diikat sebagai ikat pinggang, di atas pusar. Setetah selesai semua, Ki Pita Loka mencoba memantapkan tafsiran mimpinya. Hati kecilnya berseru:
“Kembalilah ke Kumayan, rebut enam kitab lainnya itu agar ilmu kau lengkap”.
Dia lain menyempurnakan pakaiannya dan ikat rambutnya yang panjang. Setelah sempurna berdiri, Ki Pita Loka berkata pada tubuh gadis di hadapannya: “Terima kasih tujuh bidadari yang mengawalku ketika ngelmu. Aku akan meninggalkan kalian dan aku tidak perlu dikawal lagi”.
Tujuh gadis yang samar dalam kabut subuh itu menghilang bagai menguapnya embun. Ketika ia siap meninggalkan Lembah Tujuh Bidadari itu, sekonyong hatinya gentar.
Tubuhnya menggigil, bulu romanya merinding. Dan rasa takut pun muncul menggoda batin.
Melalui pengalaman, dia mencoba mengusir godaan itu. Dan dia melangkah lebih tegap lagi. Tapi dia tidak menyadari, bahwa langkahnya dibuntuti. Andaikata dia mengetahui bahwa dia dibuntuti tentu dia akan berbalik, menghadapi orang yang membuntuti itu. Dan orang yang membuntuti itu kebetulan jaraknya agak jauh. Orang itu hanya melihat arah pintasan yang dituju Ki Pita Loka. Setelah orang itu yakin bahwa Pita Loka menuju Kumayan, orang itu mengambil jalan pintas.
Ketika Ki Pita Loka melewati celah terowong Karakeling, dia sepertinya menjadi ragu. Dia merasa tak pernah melewati terowongan ini. Keraguan ki Pita Loka rupanya diintai oleh dua orang pengintip. Dua orang ini pun rupanya sedang membuntuti Ki Pita Loka sejak keluar dari Lembah Tujuh Bidadari.
“Bohong kamu bilang dia telah memiliki Kitab itu”.
“Percayalah, bahkan aku melihatnya sendiri. Dibungkus dengan kain kuning, dan jatuh dari angkasa ke pangkuannya pada hari Rebo Legi. Aku berdosa jika aku mendustaimu. Lihat, dia duduk di batu itu”.
“Mungkin dia kuatir tersesat”.
Memang Ki Pita Loka kuatir akan tersesat. Pedoman baginya sudah tak ada lagi, kecuali bintang. Letak desa Kumayan adalah pada ekor dari Bintang Bimasakti yang baru akan muncul menjelang tengah malam. “Sekarang saja kita rampas Kitab itu”, kata pengintip wanita itu„ yang tak lain adalah Ki Harwati. Dan pengintip pria, Talago Biru, kemudian meraih bahu Ki Harwati dan berbisik: “ Lihat, dia siapakan melanjutkan perjalanan”. “Sssst”, bisik Ki Harwati, “Dia justru mendengar suara kita. Telinganya amat tajam. setajam telinga burung.”
Memang telinga Ki Pita Loka tajam. Dia mendengar seperti ada dua manusia bercakap-cakap di atas celah terowongan Karakeling. Dia mencoba memancing dangan mendehem. Lalu, terdengarlah suaranya yang menantang:
“Siapa lagi di atas itu jika bukan musuhku?” Dan tantangan itu dipertegas lagi, bagai bunyi gemuruh:
“Ayoh turun kamu singa betina Kumayan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu! Dan kau ... kuda jantan muda pengkhianat, kuharap kau turun juga!”. Ki Harwati menatap mata Talago Biru dengan tegang. Dia meraih bahu Talago Biru dan berbisik: “Dia tajam sekali. Begitu tajam sehingga dia mengenal diri kita masing-masing”. “Benar, Harwati. Ketajaman pendengaran adalah bagian dari kependekaran. Kau harus turun ke bawah. Jika tidak, aku yang naik ke atas”, terdengar ancaman itu begitu dahsyat.
Harwati menghela lengan Talago Biru: “Ayohl”
Talago Biru kecut seketika. Begitu Harwati menghela lengan Talago sekali lagi, mendadak sudah menancap di cabang pohon genuk itu ... dua kaki Ki Pita Loka kokoh berdiri, berkacak pinggang. Dalam sekelebatan dia sudah melayang dengan terjangan menghentak ke pinggang Ki Harwati. Tetapi ketika Ki Harwati akan jatuh, satu tungkai kaki Talago Biru membantu menghalangi. Namun tanpa diperkirakannya, Talago merasakan kepalanya terkena tamparan Ki Pita Loka. Dia terlempar kesamping, lalu cepat bergayut di dahan pohon, mengayunkan tubuh yang kemudian melayang menyerbu ke tubuh gurunya sendiri, yang sedang berkacak pinggang sehabis menendang Ki Harwati. Ki Pita Loka berbalik dengan tendangan membelakang mengenai pangkal leher Talago sementara tendangan satunya mengenai perut Ki Harwati yang barusan saja akan menerjang. Ki Harwati kena terjangan itu bagaikan terbang mundur, dan dengan seluruh perasaan marah ketika punggungnya menabrak pohon, dia meneriakkan kutukan: “Mampus kau digigit kalajengking!”
Teriakan kutukan itu ampuh. Seratus mungkin dua ratus ekor kalajengking menghambur menuju tubuh Ki Pita Loka. Tetapi ketika itu pula Ki Pita Loka sudah membuat “tutupan” yaitu kedua telapak tangannya dengan gerak perlahan silih banting bersilang. Dan seratus atau dua ratus ekor kalajengking itu merasa bagai menerjang bara api ketika menabrak telapak tangan Ki Pita Loka. Kesemuanya jatuh ke tanah sebagai bangkai - bangkai binatang yang mati hangus. “Demikian tinggi ilmumu, Ki Pita Loka”, ujar Ki Harwati setelah menyaksikan bangkai-bangkai kalajengkingnya yang mati hangus. “Aku akan belajar padamu,” ujar Ki Harwati. “Aku juga mohon ampun Ki Guru atas durhakaku menyalahi pelajaran. Terimalah kami berdua sebagai murid”, kata Talago Biru. Ki Pita Loka tenang. Dikira sedang mempertimbangkan. Tahu-tahunya dia bagai terbang menguakkan dua kaki, satu kaki menerjang bahu kiri Talago Biru, dan satunya lagi menendang bahu kanan Harwati. Dua-duanya jatuh ke samping dengan teriakan-teriakan mengerikan. “Tolong aku ... aku akan mati...!” Ki Pita Loka mendengar suara wanita di bawah tebing curam itu. Rupanya memang benar, dilihatnya Ki Harwati perutnya tertembus dahan runcing. Rasa kasihannya bangkit, dan dia cuma melakukan dua lompatan ke kiri dan ke kanan, lalu tubuhnya menempel di dinding tebing di sebelah Harwati yang tersangkut di dahan runcing. Dengan darurat jempol tangannya dilekatkan ke langit-langit mulut, lalu diusapkan ke perut Harwati. MELIHAT kesungguhan Ki Pita Loka merawat Ki Harwati, Talago Biru sadar betapa besar jiwa pendekar itu. ia pernah mendengar ajaran Ki Pita Loka, bahwa seorang pendekar barulah berjiwa besar apabila dia tidak memancung kepala musuhnya yang sudah tak berdaya. Dan seseorang takkan bisa menjadi pendekar yang baik apabila dia tak bisa menahan nafsu, terutama nafsu kelamin. Inilah yang menginsyafkan seketika Talago Biru. Dia menghampiri pada guru yang dikhianati, dan mengulurkan tangan kiri untuk minta maaf. Ki Pita Loka menatap Talago seraya berkata: “Aku kasihan padamu. Sesungguhnya, aku ingin menukar lengan buntungmu itu dengan ilmu yang mesti kamu pelajari dengan prihatin, dan sabar. Seorang pendekar harus memiliki yang dua ini: prihatin dan sabar. Lihatlah orang ini ... “, lalu Ki Pita Loka menunjuk Ki Harwati
“Dia pernah belajar pada saya di Guha Lebah. Saya mengajarkannya sungguh - sungguh. Dia telah mendapat ilmu itu, dan karena ilmu itu bukan ilmu tempelan maka dia takkan hilang selama-lamanya sehingga ketika dia mau memerangi saya tadi bersama kamu, ilmu yang saya berikanlah yang dia pakai. Termasuk kau. Tapi pelajaran yang kalian dapat dariku belum selasai, jadi kalian takkan mungkin mengalahkanku”.
Wajah keguruannya yang berwibawa tampak menelan dua bekas muridnya. Ki Pita Loka kemudian bertanya pada Ki Harwati dan Talago Biru: “Apa yang kalian cari?
Kalau kalian berdua ingin mendapatkan Kitab Tujuh, ayoh ikut mengawalku. Tapi ingat, jangan ada di antara kalian yang berkhianat, sebab kalian akan celaka”.
Dan di luar dugaan, Ki Harwati berkata: “Soal Kitab Tujuh, ini urusan tuan Guru. Saya tidak ingin ikut campur. Terserah pada Talago akan ikut mengawal pendekar besar ini. Tapi saya tidak ikut”. Talago Biru menjadi bimbang. Dalam kebimbangan itu Ki Harwati cepat mengambil keputusan. Dia seret tangan Talago dengan merentak: “ Kamu ikut saya! “
Kebimbangan Talago Biru berakhir dengan ikutnya dia menjelang matahari terbit. Terbitnya matahari inilah yang memberi petunjuk kepada Ki Pita Loka mengenai peta Kumayan, desa yang akan di tuju. Kesabaran adalah modalnya. Bisa saja dia melangkah secepat kilat menerjang kiri dan kanan, tetapi tergesa-gesa bukanlah sifat seorang pendekar yang akan memetik kenaikan derajat. Celah Karakeling dia tinggalkan dengan langkah sebaliknya. Dibuatnya tubuhnya seringan mungkin, sehingga rumput - rumput sikejut yang mestinya tertutup jika terinjak, tetap mekar karena tiada terkena sentuhan telapak sang guru. Menjelang bukit kecil si Enam yang dinaikinya, Ki Pita Loka melihat tujuh buah bintik hitam. Karena bukit si Enam itu warnanya merah saga, maka bentuk bintik semakin jelas olehnya. Tujuh manusia. Makin dekat semakin jelas, Tujuh manusia itu buntung semua. Beberapa puluh langkah menjelang dia harus menjelang puncak bukit itu, terdengar ancaman dari atas: “Tujuh pendekar buntung meminta anda tidak melewati bukit ini”. Ki Pita Loka tetap melangkah ringan. Makin dekat semakin dirasanya dirinya lebih ringan dari kapas. Dan tahulah dia dalam sekejap mata, bahwa enam orang muridnya yang buntung kini sudah bergabung dengan Ki Dasa Laksana. Ki Pita Loka merasa perlunya berhati-hati. Dan diluar dugaannya, muncul seorang dari sebelah bukit itu. Dia bertongkat Dan dia menyatakan siapa dirinya: “Aku, Ki Rotan, bergabung untuk melengkapi angka tujuh menjadi delapan”. Lalu muncul dua orang lain, yang tak lain Ki Harwati dan Talago Biru. Ki Dasa Laksana lalu berkata: “Dengan munculnya dua Pendekar di sampingku, kami seluruhnya menjadi sepuluh. Kami yang sepuluh inilah satu gabungan dalam namaku: Dasa Laksana, karena akulah pemilik Sepuluh Kitab Pendekar yang engkau takkan pernah tahu dan menyentuhnya”.
Ki Pita Loka masih melangkah, perlahan sekali. Jika ada nasi bubur di permukaan tanah ketika Grafity, itu, pastilah takkan tampak bekas telapak kaki Ki Pita Loka karena menginjak bubur itu. Apa yang dia perbuat seluruhnya seperti kosong. Tak di lihat lagi sepuluh lawannya ketika itu. “Gebrak!” perintah Ki Dasa Laksana yang serta merta diikuti dengan suara teriakan lantang bergemuruh bagai lompatan belalang. Ki Pita Loka menjatuhkan diri sebelum gebrakan serentak itu menyerodok tubuhnya, dan dia bergulingan bagai bantal guling. SEKETIKA itu juga angin ribut menerbangkan tanah merah saga bukit si Enam itu. Ki Pita Loka sudah sampai di lembah bawah yang seluruhnya padang rumput. Dia bangun dengan ringan, dan mendengar suara riuh di belakangnya ibarat riuhnya belalang menyerbu. Ki Pita Loka bangkit perlahan, menghirup nafas dalam-dalam dengan perlahan, lalu dia menyalurkan kekuatannya mulai dari ubun kepala sampai ke ujung telapak kaki kanan.
Sentakan perlahan tapak kaki kanan kebelakang itu menciptakan angin menggebu yang menerkam sepuluh pendekar yang hanya tinggal dua puluh langkah lagi mendekatinya. Kesepuluh pendekar itu semuanya jumpalitan dengan lolongan suara yang mengerikan sekali. Ki Pita Loka sedikitpun tak menoleh ke belakang untuk menyaksikan kecelakaan yang menimpa
lawan-lawannya. Dia berdiri lamban, lalu melangkah lamban di atas padang rumput itu sampai ke kaki Bukit Kumayan.
Bukit itu terletak di sebelah Barat desa itu, dibatasi oleh dua pancuran. Serasa ada yang membisiki Ki Pita Loka, agar senja itu dia mandi di Pancuran Mayang. Tapi dia kuatir ini semuanya godaan setan, ia tetap percaya pada pesan ayahnya, bahwa pancuran itu tabu untuk mandi bagi yang bukan pendekar yang lengkap kesaktiannya. Namun ketika dia melangkah ke kanan, kaki kirinya dirasanya berat. Dia seaka - akan diwajibkan untuk membelok ke kiri, dan suara bisikan itu seakan semakin kuat untuk memerintahtahkannya mandi di Pancuran Mayang. Tapi ketetapan jiwa kependekarannya tidak mantap, sehingga kaki kiri mengalah pada kaki kanan. Dia meniti Pancuran Suri yang batu-batunya amat licin. Dan kemudian, tibalah Ki Pita Loka di seberang Bukit Kumayan yang bau menyannya sudah mulai menerpa hidung sebab pertukaran malam dan siang.
Malam benderang datang.
Bulan purnama penuh memanjat pohonan cemara yang dua di antaranya sudah buntung seperti kena penggal. Malam itu malam Kamis Wage yang bertepatan dengan malam kelahiran Pita Loka. Dia kini sedang berfikir, apakah akan pulang ke rumah lebih dulu menemui bapak? Ketika itu pulalah Ki Putih Kelabu yang sedang makan malam merasakan bau yang aneh. Bau tujuh macam kembang mayat. Dia tinggalkan santapannya. Dia membuka pintu ruang pendapo, dan alangkah kagetnya dia ketika dilihatnya yang muncul adalah Guru Gumara. “Hah, Guru!” Ki Putih Kelabu kaget Guru Gumara berpakaian putih, menatapnya tajam dan berkata: “Harap malam ini tuan guru tidak tidur. Karena saya baru saja dibangunkan oleh mimpi yang jarang terjadi?”. “Akan dibinasakanlah penduduk Kumayan?” tanya Ki Putih Kelabu. “Tidak, Tapi sebaiknya anda jangan turun tangan jika ada peristiwa yang terjadi”.
Lalu Guru Gumara berlalu. Dia datangi Ki Ladang Ganda, dan diucapkan kata - kata yang sama, begitupun kepada guru-guru yang lain. Seluruh Harimau Kumayan malam itu menjalankan tirakat. Sudah lewat dua jam dari tengah malam yang menegangkan, tak kedengaran satu suarapun yang mencurigai. Rupanya perintah itu dipatuhi oleh seluruh guru penjaga Kumayan karena rasa hormatnya mereka kepada wibawa yang dipancarkan sorot mata Gumara. Ketika itu Gumara sedang menggali sepetak tanah tak jauh dari Bukit Kumayan. Seluruh yang dilakukannya persis seperti yang dialaminya pada mimpi. Dan ketika mata pacul terdengar meleduk, tahulah Gumara bahwa itulah papan kayu ruyung yang tahan rayap. Perlahan jari tangannya membersihkan permukaan papan ruyung itu. Dia mengumpulkan tenaga untuk menyibak susunan papan ruyung itu dengan hati-hati. Tampaknya seluruhnya jadi begitu cepat Ki Pita Loka merasa waktunya tiba untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di balik semak pohon kopi. Dia melihat orang yang membongkar tadi sudah pasti masuk ke dalam tanah. Dia hampiri tempat penggalian itu. Dia lihat susunan papan ruyung yang berada di samping lobang. Dan tanpa menanti waktu lagi, dia masuk ke dalam lobang. Hati-hati dengan usaha peringatan tubuh sempurna. Kini peranan telinga sungguh diutamakannya. Dia mendengar ada benda yang digeser dan dibuka di tempat gelap itu. Dia mendengar ada lembaran-lembaran yang sedang dibuka. Tapi di dalam sana itu tak ada cahaya apalagi lampu! Siapa orang tadi?
Pastilah orang itu sedang membaca Kitab yang Enam. Namun Ki Pita Loka tetap saja tidak mengetahui, bahwa orang yang di dalam itu adalah Guru Gumara. Kini Ki Pita Loka, yang merasa bahwa enam buah kitab itu adalah pelengkap dari Kitab Pertama yang dia miliki dan berada dalam sampul kain kuning di pinggangnya... melangkah ringan lagi untuk tarus masuk.
Sementara Ki Pita Loka merayap dalam gelap tanpa menimbulkan suara, Gumara meraba Kitab Ketujuh dengan jari-jarinya. Dia dapat membaca tulisan pada sampul kitab ketujuh itu, lewat cahaya yang muncul bagai neon kecil dari sepuluh kuku jarinya.
“Kitab ini yang ketujuh yang berupa Kitab Perdamaian tapi perdamaian ini tidak sempurna sebelum engkau dapatkan Kitab Pertama. Jagalah kukumu yang tajam”.
Baru Gumara bisa menghela nafas, karena sejak mendapatkan Enam Kitab dia terheran-heran karena seluruhnya bukan tujuh melainkan enam. Sesuai dengan pesan Kitab kedua yang pada kulit buku itu tertera kemestian membungkusnya kembali dengan kain kuning, maka Gumara melaksanakannya. Lalu keenam kitab itu dia ikatkan pada pinggangnya. Sebelum dia
meninggalkan lubang bentuk guha di bawah Bukit Kumayan itu, dia sempat mencium peti tempat kitab itu yang terbuat dari tembaga dilarang membawanya. Semula dia begitu gembira dan mampu menahan kegembiraan itu. Semula dia akan menyelesaikan Tugasnya pada malam Kamis Wage itu dan akan merencanakan mencari Kitab Pertama pada malam Jum”at Kliwon besok. Semulanya memang begitu...
Tapi begitu dia lihat sosok tak jelas di hadapannya, yang telah memasang kuda-kuda tapi tak jelas siapa, Gumara menghentikan langkah. Dia melakukan puncak permainan kependekarannya, sebagaimana dia melayani tantangan Ki Karat. Dia cuma berdiri tegak dengan dua tangan melipat silang di dada, menghela nafas dalam, meringankan seluruh gerakan otot dan urat, sehingga seluruh perjalanan darah seakan-akan tak mempunyai getaran lagi. Getaran itu sudah terpusat pada permainan nafas. Dan seluruh gerak adalah nafas. Kedua tangan terlipat itu menghadap ke depan. Tapi ternyata begitu pula lawannya yang tak dikenalnya. Dia merasa lawannya cukup kuat, tarasa sekali ada getaran elektron yang mendorongnya agar bergeser dari tempat berdirinya. Gumara merasa yakin dirinya dapat menahan kiriman getaran elektron itu, dan dia. Berusaha agar tumitnya tak bergeser. Tapi tiba-tiba dia merasa tumitnya bergeser. Ini berarti kekuatan lawannya cukup tangguh dan mempunyai gaya yang sama. Keringatnya menetes. Keringatnya menetes lagi. Dan Ki Pita Loka juga sudah basah kuyup. Keringatnya pun menetes. Dia berusaha untuk mengetahui lawannya. Tapi wajah dan bentuk tubuhnya pun tak jelas. Dia terus bertahan dengan perang nafas. Jarak antara telapak tangannya dan telapak tangan Gumara sudah tinggal beberapa senti meter lagi. Apabila kedua telapak tangan ini sempat beradu, maka akan terciptalah malapetaka besar antara dua pendekar. Akan terdengarlah suara petir dan empat potong tangan pendekar ini akan buntung semuanya. Urat leher Gumara sudah kejang, begitupun Ki Pita Loka, dan kedua pendekar itu tidak dapat mengenali masing-masing. Bila dua-duanya mau memaksakan diri, maka akan celaka. Namun kedua-duanya pun tidak mau menahan diri, menjaga saja agar letak telapak tangan itu berhadap–hadapan saja, tanpa ada geseran. Empat Jam sudah pertarungan itu berlangsung. Cuma karena tadi malam ada bulan puurnama, pagi datang sepertinya lebih lambat. Karena seluruh desa Kumayan diliputi embun yang turun menyirami bumi. Sinar matahari tak dapat menembus embun tebal itu. Tapi memang tampak ada sepuluh bintik yang bergerak teratur menuju Bukit Kumayan itu. Satu
di antaranya, Ki Harwati, berkata: “Kita telah tiba di Bukit Kumayan. Karena ini wilayah kekuasaan almarhum ayah saya, kalian yang sembilan orang menunggu di sini”. “Uu tidak bisa”, membantah Dasa Laksana, “Kita yang sepuluh ini berada di bawah panji keilmuan Kitab Sepuluh Dasa Laksana”. “Ki Harwati”. cegah Talago Biru, “Aku tidak suka anda membantah beliau”.
Ki Harwati kali ini tunduk pada perintah Talago Biru. Dan berdasarkan petunjuk Dasa Laksana, maka sepuluh mereka itu semuanya diam di tempat melihat dulu keadaan. “Aneh, embun pekat baru sekali ini terjadi”“, kata Ki Harwati.
“Apa tafsirannya?” tanya Ki Rotan.
“Tentu ada sesuatu yang menyelimuti kita. Ini berarti sedang ada rahasia di sekitar Bukit Kumayan sakti ini”, kata Ki Harwati.
Apa yang sedang terjadi memanglah demikian. Perasaan Gumara ketika menahan letihnya telapak tangannya berhadapan dengan lawan, merasa lawannya semakin kabur. Dia tak menyadari, bahwa tirai embun menyelusup ke dalam guha itu.
KI PITA LOKA pun agak heran. Lawannya malahan semakin lama semakin kabur, sehingga dia tak menyadari bahwa sebenarnya embun sudah memasuki guha itu. Pertempuran macam begini berbahaya. Jika sedikit saja tumit bergeser maka dorongan telapak tangan akan keluar dari poros getaran. Ya, yang sedang bertempur sebenarnya getaran nafas lawan getaran nafas. Dan Gumara tiba-tiba merasa bahwa ada dorongan kuat dari telapak tangan lawannya. Dia harus imbangi. Dia bergeser ke kanan sedikit, dan dengan serta merta jurus telapak tangannya berubah dan dia rasakan kukunya mencapai sasaran. Ki Pita Loka menahan nyeri di mata kanannya terkena kuku lawan, sehingga dia melakukan putaran tendangan lamban, yang sebenarnya amat kuat menghentak ke paha Gumara. Gumara menahan sakit sembari tersungkur dan dia merasakan sekali lagi tendangan lamban mengenai dadanya. Darah muncrat oleh tendangan lamban yang menggedebuk keras ke dadanya. Gumara bangkit lagi tetapi kakinya terkena serimpung, sehingga kini dia tahu bahwa lawannya adalah wanita. “Kamu itu Harwati?”“ tanya Gumara menduga adik tirinya. Pita Loka yang menyesal baru tahu lawannya adalah Guru Gumara, berusaha melarikan diri. Tetapi dia tersungkur kena serimpungan Gumara. Dia langsung merenggut rambut yang kebetulan kena sambernya, dan dia mau mencekik sambil berkata geram: “Kamu dilaknat ayahmul” Embun menyingkir cepat dan cahaya matahari melintas sekejap. Ketika itulah Gumara kaget melolot melihat orang yang digeramkannya itu ternyata Pita Loka. “Ki Pita Loka”“ serunya sedikit menyesal karena dilihatnya mata kanan Ki Pita Loka terbeset jari kukunya dan luka. “Aku telah buta sebelah”. ujar Ki Pita Loka.
Gumara begitu gugup berusaha mengambil lendir langit-langit mulutnya dan mencoba menggosok ke mata Pita Loka.
“Percuma, Guru”. Rasa menyesal Gumara melebihi dari kecamuk cintanya yang berkobar-kobar pada Pita Loka. “Saya rasa kamulah yang pantas memiliki buku ini, karena saya baru saja melihat warna kuning yang membelit di pinggangmu”, ujar Gumara. Ki Pita Loka kaget. Gumara menyibakkan pakaian putihnya. Dan warna kuning yang membelit di pinggangnya itu semakin jelas oleh sorot cahaya matahari yang masuk ke celah lubang galian. Ketika Gumara akan mencopot kain kuning pembungkus enam buah kitab penemuannya itu, Ki Pita Loka mencegah: “Jangan tuan Guru. Anda yang harus memiliki Kitab Tujuh ini”. Ki Pita Loka akan melepas ikat pinggang kuning yang melapis Kitab Pertama yang terselip di pinggangnya, tetapi Ki Gumara menolak: “Aku baru.membuktikan mimpiku. itupun sudah memuaskanku!” “Ada pesan dalam kitab-kirtab itu?” tanya Ki Pita Loka. “Ada. Pada Kitab Keenam ada pesan, bahwa aku harus menemukan Kitab Pertama sebelum hari Jum”at besok tiba. Dan pagi ini pagi Jum”at Kliwon. Dan kitab itu ada padamu”. “Tidak, Guru. Tidak! Saya tidak berhak mendapatkan Kitab Tujuh itu karena ilmu saya masih rendah. Lagi pula saya akan buta mata sebelah, selama-lamanya!” “Buta atau tidak butanya kau, sama saja buatku!” ucap Gumara, yang segera melepaskan ikat pinggang yang berisi enam buku itu. Pita Loka meronta, “Tidak, tidak!”
Tanpa mereka sadari, Ki Harwati sudah mendengar seluruh perdebatan itu. Dia langsung bagaikan terbang ke bawah menyambar ikat panggang kuning yang membungkus buku enam kitab, begitupun Ki Dasa Laksana langsung mempreteli ikat pinggang kuning yang melilit di pinggang Ki Pita Loka. Namun Gumara tidak tinggal diam. Begitu Ki Rotan turun ke lubang dia sudah nanti dengan terjangan membalik, sehingga tumit Gumara menghantam dagu Ki Rotan. Ki Rotan tak berdaya karena kepalanya melintir kebelakang dan tidak kembali lagi. Dia cuma meronta-ronta dalam keadaan sekarat. Ki Harwati berhasil membebaskan diri dari tendangan gading Ki Pita Loka. Dia akan lari, tetapi lengannya disambar oleh Gumara, sehingga ikat pinggang kuning itu kembali berada dalam tangan Gumara. Dasa Laksana sudah berlari jauh dengan kecepatan luar biasa melarikan ikat pinggang kuning berisi Kitab Pertama. Biarpun dalam keadaan mata sebelah. Ki Pita Loka menghambur meloncat keluar lubang, kakinya disamber Harwati namun berhasil jumpalitan. Ki pita loka dengan lari sekencang angin limbubu menerjang semua pohon yang merintanginya untuk mengejar terus Ki Dasa Laksana. Ki Dasa Laksana membalik dan merobohkan pohon pucung. Pohon itu meluncur cepat hendak menimpa Ki Pita Loka, tapi Pita Loka sudah terlebih dulu meloncat terbang yang justru meloncati pohon yang roboh itu. Bunyi berdembam bagaikan bom menggelegar keseluruh Kumayan. Begitulah besar pohon pucung yang roboh itu. Akar pohon itu sempat menyabet lengan buntung Dasa Laksana, tapi dia cepat mundur sembari memasang kuda-kuda ketika mendadak sontak Ki Pita Loka melakukan tendangan bangau merobek pipinya. Darah mengucur dari pipi Dasa Laksana, dan dia membalik ke samping seraya menungkaikan kakinya yang menyerobot tangan Ki Pita Loka. Ki Pita Loka tersungkur dan sebelumnya merobohkan pohon cemara yang ditabrak tubuhnya. Gumara melihat Ki Pita Loka dalam bahaya. Dia meloncati tubuh Harwati yang rupanya mau menghalanginya. Harwati mengejarnya, dan menjegalnya dengan memelintirkan tubuhnya sebanyak 36 kali putaran, sehingga Gumara harus mengakui kegesitan itu dengan menyungkurkan diri dengan dua telapak tangan ke tanah tapi membuat salto putaran tujuh kali jungkir balik, yang pada akhirnya putaran salto terakhirnya menyempatkan telapak tumitnya menghantam leher Ki Dasa Laksana. Ketika dalam keadaan terpelanting itulah Ki Pita Loka sudah mencegat tubuh itu, lalu menangkapnya dan melemparkannya ke pohon jenggarang yang tegap. Tulang rusuknya keluar disertai teriak kesakitan. Kesempatan ini membuat Ki Pita Loka dengan ceat menerkam tubuhnya yang mandi darah itu. Dia lepaskan ikat pinggang kuning yang membelit pinggang Ki Dasa Laksana, yang kelihatannya merintih. Tulang rusuk itu masih nongol merobek isi perutnya, warnanya putih gading diseling oleh kucuran darah. Setumpuk rambutnya ternyata lengket pada kulit pohon jenggareng lepas dari kulit kepalanya. Gumara hanya diam, membiarkan Ki Pita Loka menyiksa Ki Dasa Laksana dengan tamparan mundar mandir dengan telapak kaki kanan.
Rupanya Ki Pita Loka sudah puas melampiaskan kemarahannya, yang bukan sifat aslinya, karena kebutaan telah membuat dia kehilangan kontrol. Ki Harwati masih ingin meneruskan perang tanding itu, tetapi dia kehabisan nafas Gumara masih berdiri, dan matanya melihat bagaimana tujuh anak-anak muda buntung tangan pada melarikan diri satu demi satu.
Ki Pita Loka akhirnya cukup puas dengan membentak Ki Dasa Laksana: “Pergi kau dari bumi Kumayan. Jangan kotori desaku dengan darahmu yang kotor itu !”
Dengan satu tendangan tempelengan pada muka Ki Dasa Laksana, Ki Pita Loka mengangkat tubuh Ki Dasa Laksana kemudian memakinya: “Matilah kamu di desa Anggun sana, desa dari bajingan tengik!”
“Begitukah kau memperlakukan ilmu kependekaranmu?” Ki Harwati dalam nafas sesak bertanya di bawah pohon ceremai padanya. Ini mengejutkan Ki Pita Loka. Dia sadar kini, bahwa apa yang telah diperbuatnya yang terakhir atas Ki Dasa Laksana memang tindakan di luar batas. “Jika kamu tersinggung karena tindakan kasarku kepada manusia binatang Dasa Laksana, mohon dimaafkan. Panca inderaku sekarang kurang satu. Kau lihat! Mataku! buta satu!”.
Gumara merasa terkena sindiran itu dan segera menerkam tubuh Pita Loka lalu meluncurkan diri  berlutut, bersembah: “Ampuni saya pewaris Ilmu Sakti Tertinggi !! Engkau begitu mulia, tapi apa daya saya tak sengaja mencolok matamu!”
Ki Pita Loka menyerahkan ikat pinggang kuning berisi Kitab Satu itu kepada Gumara, yang masih berjongkok:
“Kau, tuan Guru, adalah orang yang lebih berhak. Hidupmu hanya patut apabila didampingi Harwati, yang mestinya anda bimbing ke ilmu yang benar. Kekalahan saya bukan karena kekuatan otot maupun otaknya. Kekalahan saya hanya kalah bersaing dengan wanita yang penuh ambisi. Harap diketahui, sama sekali saya tidak ada ambisi pada tuan, sebab tuan guru
lebih mulia”.
                                                        Ki Harwati baru menyadari siapa dirinya. Dia seharusnya mengakui kenyataan ini, apabila dia melihat begitu gencarnya langkah Gumara berlari mengejar Ki Pita Loka. Gumara terusmengejarnya sampai Ki Pita Loka memasuki rumah ayahnya, lalu menerkam pendekar tua Ki Putih Kelabu dengan kata-kata mengharukan: “Ayah, terimalah saya sebagai gadis biasa yang durhaka ini. Ayah, tolonglah mataku yang buta ini supaya bisa melihat lagi”. Sementara Harwati masih menangis tersedu di Bukit Kumayan, Gumara masuk dan berkata pada Ki Putih Kelabu: “Maafkan, kebutaan puteri tuan hanyalah karena kelancangan jari saya.” “Anda tentu dapat mengobatinya”, kata Ki Putih Kelabu.
“Dengan sangat menyesal, saya tidak bisa mengobatinya. Tapi cacat Pita Loka menjadi tanggung jawab saya..”
“Jangan menghibur orang buta, tuan Guru”, kata Ki Pita Loka.
“Aku bersumpah, jika perlu aku mati untuk menyembuhkan butamu itu, Ki Pita Loka”, ujar Gumara.
Ki Harwati yang sudah berada di pekarangan rumah Ki Putih Kelabu, telah mendengar tiap ucapan Gumara.
Tangisnya bertambah hebat dan dia tidak habis pikir mengapa cintanya pada kakak tirinya itu tidak pernah bisa punah dari hatinya.
TAMAT

0 comments:

Post a Comment